JAKARTA – Inflasi kini menjadi perhatian serius di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Bagi pemerintah, inflasi ibarat kolesterol dalam tubuh perekonomian: bila kadarnya terlalu tinggi, dapat merusak stabilitas; namun bila terkendali, justru menjadi motor penggerak pertumbuhan.
Inilah alasan mengapa inflasi selalu disebut sebagai “momok menakutkan” yang harus dijaga agar tetap berada dalam batas sehat.
Inflasi: Antara Baik dan Jahat
Secara sederhana, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum di suatu wilayah. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulanan di 90 kota dan mengumumkannya di awal bulan. Lawannya adalah deflasi, yakni penurunan harga barang.
Namun, tidak semua inflasi itu buruk. Sama seperti kolesterol, inflasi bisa baik atau jahat. Inflasi moderat dianggap sehat karena mampu menggerakkan ekonomi.
Sebaliknya, inflasi tinggi membuat harga-harga melambung, daya beli masyarakat melemah, dan pertumbuhan ekonomi terhambat.
Pemerintah menetapkan target inflasi nasional sebesar 3,0% pada 2022–2023 dan 2,5% pada 2024. Target ini diteruskan pada era Prabowo sebagai batas aman yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan rakyat dan dunia usaha.
Mengapa Inflasi Harus Dikendalikan?
Inflasi tinggi membuat hidup rakyat makin sulit. Harga pangan dan kebutuhan pokok naik, ongkos transportasi meningkat, dan tabungan masyarakat terkikis. Sementara inflasi terlalu rendah juga tidak ideal karena membuat pengusaha enggan berinvestasi.
Bank Indonesia (BI) diberikan mandat untuk menjaga stabilitas harga melalui dua instrumen utama: suku bunga dan operasi moneter. Bila inflasi naik, BI menaikkan suku bunga acuan agar masyarakat terdorong menabung daripada berbelanja. Sebaliknya, saat inflasi terlalu rendah, suku bunga diturunkan untuk mendorong konsumsi dan investasi.
Selain itu, BI juga menjaga nilai tukar rupiah dengan intervensi di pasar valuta asing. Stabilitas rupiah sangat penting, karena pelemahan rupiah langsung berdampak pada kenaikan harga barang impor dan kebutuhan pokok dalam negeri.
Inflasi dan Kemiskinan Ekstrem
Inflasi tidak hanya soal harga, tetapi juga berkaitan erat dengan kemiskinan. Kenaikan harga pangan berkontribusi besar terhadap garis kemiskinan di Indonesia.
Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar, menyebut jumlah penduduk miskin pada 2025 masih mencapai 23,85 juta jiwa, dengan 2,38 juta jiwa tergolong miskin ekstrem. Untuk mencapai target penurunan kemiskinan menjadi 5% pada 2029, pemerintah harus menekan inflasi dan menjaga harga pangan tetap stabil.
“Setiap kenaikan harga pangan langsung memukul kelompok miskin. Karena itu, strategi pengendalian inflasi harus menjadi bagian integral dari pengentasan kemiskinan,” tegasnya.
Strategi Pemerintah Prabowo: Dari Pasar Murah hingga Kedaulatan Pangan
Dalam rapat koordinasi nasional yang dipimpin Mendagri Tito Karnavian pada 8 September 2025, pemerintah pusat dan daerah sepakat memperkuat langkah strategis untuk menekan inflasi. Program-program yang dijalankan antara lain:
Pasar murah nasional bekerja sama dengan Kadin dan Badan Pangan Nasional.
Bantuan sosial tepat sasaran bagi kelompok rentan.
Program 3 Juta Rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Percepatan perbaikan infrastruktur distribusi guna menekan biaya logistik.
Sejalan dengan itu, Presiden Prabowo menekankan agenda kedaulatan pangan. Pemerintah mendorong produksi pangan nasional melalui intensifikasi pertanian, mekanisasi, dan pemanfaatan teknologi. Tujuannya agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada impor, terutama komoditas strategis seperti beras, kedelai, dan gandum.
Inflasi dan Mafia Pangan
Selain faktor moneter dan fiskal, inflasi di Indonesia kerap dipicu oleh praktik monopoli dan oligopoli.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut pasokan kedelai dan terigu dikuasai segelintir pihak, sementara minyak goreng dikuasai tujuh pemain besar. Kondisi ini membuat harga barang bisa naik seenaknya tanpa kendali pasar sehat.
Presiden Prabowo berulang kali menegaskan komitmennya untuk membongkar kartel pangan dan mereformasi tata niaga distribusi.
“Rakyat tidak boleh jadi korban permainan harga oleh segelintir mafia. Negara harus hadir untuk melindungi kepentingan rakyat kecil,” tegas Prabowo dalam salah satu pidatonya.
Biaya Logistik: PR Besar yang Harus Dituntaskan
Indonesia juga menghadapi masalah klasik: biaya logistik tinggi. Saat ini, ongkos logistik mencapai sekitar 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB), salah satu yang tertinggi di dunia.
Presiden Prabowo memprioritaskan pembangunan infrastruktur strategis di seluruh daerah, terutama di kawasan timur Indonesia, untuk menurunkan biaya distribusi. Proyek pembangunan jalan, pelabuhan, jalur kereta logistik, hingga gudang pangan modern masuk dalam agenda hilirisasi besar-besaran di sektor transportasi dan pangan.
Inflasi Harus Dijaga, Bukan Dihilangkan
Dari paparan tersebut jelas bahwa inflasi bukanlah musuh yang harus dihapuskan, melainkan fenomena ekonomi yang wajib dijaga agar tetap stabil. Inflasi moderat dibutuhkan untuk pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan keuntungan dunia usaha. Namun inflasi tinggi bisa menjadi bencana, terutama bagi masyarakat miskin.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menekankan strategi terpadu: menjaga stabilitas moneter, memperkuat kedaulatan pangan, memberantas mafia distribusi, dan menekan biaya logistik.
Dengan langkah-langkah tersebut, inflasi diharapkan tetap terkendali, daya beli rakyat terlindungi, dan target pengentasan kemiskinan bisa tercapai.
Pada akhirnya, inflasi bukan sekadar angka statistik BPS, melainkan realitas yang dirasakan langsung oleh rakyat kecil di dapur rumah tangga Indonesia. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini


