KENDARI – Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) baru saja merilis indikator strategis perekonomian terbaru yang menggambarkan dinamika cukup kompleks.
Laporan yang disampaikan oleh Plt. Kepala BPS Sultra, Andi Kurniawan, menyoroti tren ekspor-impor, inflasi, Nilai Tukar Petani (NTP), perkembangan pariwisata, serta transportasi di wilayah tersebut.
Ekspor dan Impor Tertekan
Pada Agustus 2025, nilai ekspor Sultra tercatat hanya US$278,46 juta, anjlok 12,40 persen dibanding Agustus 2024 yang mencapai US$304,24 juta.
Tren penurunan ini menandakan adanya perlambatan permintaan global terhadap komoditas unggulan Sultra, khususnya nikel dan hasil perikanan.
Di sisi lain, impor Sultra juga mengalami penurunan signifikan, yakni US$101,94 juta atau turun 17,56 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
“Penurunan impor bisa diartikan sebagai tanda melemahnya permintaan bahan baku industri atau justru efisiensi dari sektor tertentu. Namun, jika ekspor dan impor sama-sama tertekan, hal ini mengindikasikan perputaran ekonomi daerah belum optimal,” jelas Andi dikutip Jumat (3/10/2025).
Inflasi Menggigit, Baubau Jadi Kota Paling Tertekan
BPS mencatat inflasi tahunan (year-on-year) Sultra pada September 2025 sebesar 3,68 persen. Inflasi tertinggi terjadi di Kota Baubau yang mencapai 4,84 persen, sementara kota lain relatif lebih terkendali. Lonjakan harga pangan pokok, biaya transportasi, dan energi diyakini menjadi pemicu utama inflasi tersebut.
Jika inflasi terus bergerak naik tanpa diimbangi pertumbuhan pendapatan masyarakat, daya beli akan semakin tertekan. Kondisi ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial, terutama di daerah dengan ketergantungan tinggi pada sektor konsumsi.
Petani Sultra Merugi, NTP Merosot Tajam
Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi perdesaan ikut merasakan tekanan. Nilai Tukar Petani (NTP) pada September 2025 tercatat 106,70, turun 2,01 persen dibanding bulan sebelumnya (108,89).
Penurunan NTP berarti pendapatan petani dari hasil produksi tidak sebanding dengan pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi dan produksi. Jika tren ini berlanjut, petani Sultra bisa semakin rentan terjebak dalam lingkaran kemiskinan struktural.
Pariwisata dan Transportasi Tunjukkan Sinyal Positif
Meski sektor perdagangan dan pertanian melemah, sektor jasa memberikan sedikit harapan. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel bintang pada Agustus 2025 tercatat 37,90 persen, naik 3,10 poin dibanding bulan sebelumnya. Ini menunjukkan adanya geliat wisata, meskipun masih jauh dari angka ideal.
Pada sektor transportasi, jumlah penumpang angkutan udara domestik yang berangkat dari Sultra naik tipis 0,89 persen menjadi 55.818 orang. Namun, angkutan laut justru turun drastis 6,29 persen, dari 121.999 orang menjadi 114.528 orang. Pergeseran preferensi masyarakat dari laut ke udara diduga karena efisiensi waktu, meski biaya tiket pesawat relatif lebih tinggi.
Ekonomi Sultra Masih Rapuh
Data BPS ini mengungkap paradoks ekonomi Sultra. Di satu sisi, sektor jasa seperti pariwisata mulai menunjukkan pemulihan, namun di sisi lain, sektor strategis seperti ekspor dan pertanian justru melemah.
Ekspor turun → tanda melemahnya daya saing global Sultra.
Inflasi naik → daya beli masyarakat tergerus.
NTP merosot → petani sebagai fondasi ekonomi daerah makin terjepit.
Pariwisata membaik → ada peluang diversifikasi ekonomi.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa Sultra tidak bisa hanya mengandalkan sektor ekstraktif seperti tambang, tetapi harus memperkuat sektor hilir industri, pangan, dan pariwisata agar lebih tahan banting menghadapi gejolak global. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini