KENDARI — Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto batal menghadiri pembukaan Seleksi Tilawatil Qur’an dan Musabaqah Al-Hadits (STQH) Nasional XXVIII Tahun 2025 di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Sebagai gantinya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno hadir mewakili Presiden dan secara resmi membuka acara tersebut di Tugu Persatuan Kendari, Sabtu malam (11/10/2025).
Pembukaan ditandai dengan pemukulan dimba, alat musik tradisional khas Kendari, oleh Menko PMK Pratikno bersama Menteri Agama Nasaruddin Umar, Gubernur Sultra Andi Sumangerukka, dan Dirjen Bimas Islam Abu Rokhmad.
Ribuan warga tumpah ruah di kawasan Tugu Persatuan menyaksikan perpaduan budaya lokal dan spiritualitas Islam dalam ajang nasional tersebut.
Simbol Kehadiran yang Berubah: Dari Seremoni Religi ke Isyarat Politik
Di atas panggung, gema ayat suci menggema. Namun di balik seremonial yang khidmat itu, publik bertanya-tanya: mengapa Presiden Prabowo tak hadir sendiri di acara nasional berskala besar, di provinsi yang secara politik seharusnya menjadi salah satu lumbung dukungan Gerindra di timur Indonesia?
Selama dua dekade terakhir, dua presiden sebelumnya — SBY dan Jokowi — sama-sama menjejakkan kaki ke Sulawesi Tenggara dalam berbagai momentum besar. Kehadiran mereka menjadi pernyataan politik: pusat hadir untuk meneguhkan legitimasi di daerah.
Kali ini berbeda. Pembatalan mendadak kunjungan Prabowo membuka ruang tafsir luas — mulai dari pertimbangan teknis, keamanan, hingga sinyal politik yang lebih dalam.
Bagi sebagian kalangan, ketidakhadiran presiden di tengah sorotan kasus tambang di Sultra terasa terlalu berdekatan untuk disebut kebetulan.
Bayang Skandal Tambang di Tengah Panggung STQH
Sulawesi Tenggara, selain dikenal sebagai tanah religius dan kaya budaya, juga menjadi episentrum tambang nikel nasional. Salah satu kasus paling mencolok ialah PT Tonia Mitra Sejahtera (TMS) yang beroperasi di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana.
Satgas PKH (Penertiban Kawasan Hutan) telah menyita sebagian area tambang TMS atas dugaan pelanggaran izin dan penambangan ilegal di kawasan hutan lindung.
Laporan BPK dan hasil audit investigatif memperkirakan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 9 triliun, dengan kerusakan lingkungan mencapai 147 hektare hutan.
Kasus ini menjadi semakin kompleks karena menyeret nama keluarga Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka, dalam struktur kepemilikan perusahaan.
Menurut sejumlah laporan media, istri gubernur serta anaknya disebut memiliki saham di perusahaan tambang yang terafiliasi dengan TMS melalui PT Bintang Delapan Tujuh Abadi.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 850/PK/PDT/2023 bahkan menyatakan perubahan kepemilikan dan struktur saham perusahaan tersebut tidak sah dan batal demi hukum.
Meski Andi Sumangerukka belum memberikan penjelasan langsung, sejumlah aktivis, akademisi, dan organisasi lingkungan mendesak Kejaksaan Agung dan KPK turun tangan menelusuri dugaan konflik kepentingan antara jabatan publik dan bisnis tambang keluarga gubernur.
Tekanan publik ini membesar hanya beberapa hari sebelum jadwal kehadiran Presiden Prabowo ke Kendari — dan pembatalan kunjungan itu terjadi di tengah badai pemberitaan tersebut.
Kalkulasi Politik di Tengah Badai Reputasi
Dalam sistem politik Indonesia, kunjungan presiden ke daerah selalu bersifat simbolik sekaligus strategis. Ia menjadi alat komunikasi politik, sekaligus pengakuan pusat atas kinerja daerah.
Namun pembatalan Prabowo kali ini justru menjadi pembacaan terbalik: jarak yang disengaja antara pusat dan daerah, sinyal bahwa pemerintah pusat enggan terbawa arus reputasi lokal yang tengah terguncang.
Beberapa sumber politik di Jakarta menilai, istana ingin menjaga jarak aman hingga polemik tambang Sultra mereda. Sebab kehadiran presiden di tengah sorotan dugaan skandal yang melibatkan kepala daerah bisa menimbulkan “efek reputasi” yang sulit dikendalikan.
Dengan memilih Menko PMK Pratikno sebagai perwakilan, istana mengirim dua pesan: pertama, menghormati nilai keagamaan STQH, dan kedua, menghindari jebakan simbolik di daerah yang sedang bergejolak isu tambang dan hukum.
STQH: Spirit Religius yang Tertutup Kabut Politik
Padahal, semangat utama STQH tahun ini sungguh luhur.
Dalam sambutannya, Menko PMK Pratikno menegaskan bahwa “Islam pernah menjadi mercusuar peradaban dunia, di mana iman dan akal berjalan beriringan.”
Ia mengajak generasi muda Muslim Indonesia untuk menguasai ilmu pengetahuan tanpa kehilangan akhlak.
Menteri Agama Nasaruddin Umar juga mengingatkan bahwa STQH bukan sekadar ajang kompetisi tilawah, melainkan wasilah melahirkan generasi Qurani yang peduli lingkungan.
Tema tahun ini, “Syiar Al-Qur’an dan Hadis: Merawat Kerukunan, Melestarikan Lingkungan,” menjadi ironi tersendiri di tengah kisah kerusakan ekologis akibat tambang yang mencuat di Sultra.
Ketika Pusat Menjauh, Daerah Mencari Legitimasi
Ketidakhadiran Presiden Prabowo di Kendari adalah sinyal strategis yang layak dibaca lebih dalam.
Sulawesi Tenggara kini berdiri di persimpangan: antara spiritualitas yang sedang dirayakan lewat STQH dan krisis kepercayaan akibat bisnis tambang yang menodai alam dan moralitas publik.
Gubernur Andi Sumangerukka — mantan perwira militer yang semestinya menjadi simbol disiplin dan integritas — kini menghadapi sorotan tajam.
Bila dugaan konflik kepentingan terbukti, Sultra bukan hanya kehilangan kredibilitas moral di mata rakyatnya, tapi juga kepercayaan politik dari pusat.
Dalam politik, jarak bisa berbicara lebih keras daripada kata-kata. Dan kali ini, ketidakhadiran Presiden Prabowo di panggung STQH mungkin adalah cara paling halus untuk mengatakan bahwa pusat sedang berhitung ulang dengan Sultra.
Cermin Religi, Ujian Integritas
STQH Nasional XXVIII 2025 di Kendari seharusnya menjadi momen refleksi spiritual bangsa. Namun di balik gema ayat suci dan lantunan doa, Sulawesi Tenggara sedang diuji — bukan hanya dalam hal iman, tetapi juga integritas pemimpinnya.
Jika STQH adalah panggilan untuk membaca ayat Tuhan di langit dan bumi, maka kasus tambang PT TMS adalah ayat ujian moral bagi elite politik daerah.
Dan pembatalan kunjungan Presiden Prabowo menjadi tanda baca besar yang menegaskan: pembangunan tanpa kejujuran akan kehilangan makna spiritual, bahkan kehilangan arah. (Redaksi)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini