WAKATOBI – Benteng terakhir biodiversitas laut di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Wakatobi, kini ikut terancam.
Reklamasi pantai dan aktivitas tambang galian golongan C terjadi di kawasan yang selama ini menjadi simbol konservasi laut dunia. Ironisnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Wakatobi mengaku tak bisa berbuat banyak.
Kepala Bidang Penataan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup DLH Wakatobi, Wa Ode Masniar, membenarkan adanya penimbunan laut di sekitar Dermaga Ferry Wanci dan Kelurahan Mandati 2, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, pada Sabtu (9/8/2025).
“Kami sudah melakukan pengawasan bersama tim Taman Nasional Wakatobi dan melaporkan ke Provinsi Sultra. Namun kewenangannya ada di provinsi, bukan di kabupaten,” ujarnya.
Aktivitas tambang golongan C juga terpantau di Desa Komala dan Desa Wungka, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Meski pelaku reklamasi ilegal pernah mendatangi kantor DLH, pihaknya enggan menyebutkan identitasnya.
Kepala DLH Wakatobi, Arusani, menegaskan pihaknya hanya bisa melakukan monitoring karena izin dan penindakan berada di tangan pemerintah provinsi.
Benteng Laut Dunia di Ujung Tanduk
Sejak ditetapkan sebagai Taman Nasional pada 1996 dan Cagar Biosfer UNESCO pada 2012, Wakatobi dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Lebih dari 750 spesies karang dan 942 spesies ikan karang hidup di perairan ini, termasuk mamalia laut langka dan penyu hijau yang dilindungi.
Namun, arus industrialisasi tambang nikel di Sulawesi Tenggara kini menjadi ancaman nyata. Meski tambang nikel belum masuk langsung ke Wakatobi, limbah dan sedimen dari daratan utama Sultra terbawa arus laut menuju Laut Banda yang terhubung dengan ekosistem Wakatobi.
Dampaknya mulai terasa—air laut makin keruh, suhu perairan naik, dan hasil tangkapan nelayan menurun.
Ekonomi Hijau atau Jebakan Ekologis?
Pemerintah berdalih tambang nikel adalah bagian dari transformasi energi bersih. Tetapi di lapangan, kerusakan ekologi Sultra justru semakin parah. Hutan gundul, pesisir tercemar, dan terumbu karang rusak.
Data WALHI dan JATAM mencatat lebih dari 30% daratan Sultra telah dikapling izin tambang, termasuk di wilayah hulu sungai yang memicu sedimentasi besar-besaran ke laut.
Tanpa pengelolaan berbasis ilmu pengetahuan dan keterlibatan masyarakat, Wakatobi berpotensi kehilangan kemurnian ekosistemnya. Padahal kawasan ini adalah warisan dunia yang tak tergantikan.
Perlawanan masyarakat sipil
Di tengah ancaman ini, komunitas adat, LSM, peneliti, dan generasi muda Wakatobi terus bergerak. Mereka mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat, pendidikan konservasi di sekolah, hingga kolaborasi riset untuk mempertahankan laut tetap lestari.
Pemerintah pusat dan provinsi didesak untuk bertindak tegas menghentikan reklamasi dan tambang ilegal di kawasan strategis ekologis Wakatobi.
Jika Wakatobi runtuh, dunia akan kehilangan salah satu surga laut terakhir di bumi. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini