KENDARI – Kekerasan pelajar kembali mencoreng dunia pendidikan Sulawesi Tenggara (Sultra).
Seorang siswa SMAN 12 Kendari, Alfiansyah, terpaksa dirawat intensif di RS Bahteramas usai menjadi korban pengeroyokan brutal pada 17 Agustus 2025.
Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan pelajar di kota itu yang terus berulang meski pemerintah daerah dan kepolisian sudah bertindak.
Pertanyaannya kini bukan lagi sekadar siapa yang salah, tetapi lebih jauh: mau sampai kapan korban terus berjatuhan?
Paradoks Kekerasan Pelajar di Kendari
Sultra sejatinya sedang gencar membangun tatanan baru sebagai daerah yang aman dan ramah investasi. Namun paradoks terjadi: di tengah pembangunan, sekolah justru kerap berubah menjadi arena bentrok pelajar.
Data mencatat:
2022: 44 pelajar SMKN 1 dan SMKN 2 Kendari diamankan usai tawuran di kawasan MTQ.
2024: 14 pelajar ditangkap polisi dengan barang bukti busur dan ketapel.
Mei 2025: Tawuran pecah di Eks MTQ Kendari saat kegiatan bersih-bersih sekolah.
Agustus 2025: 24 pelajar kembali diringkus, 5 jadi tersangka, satu masih buron.
Polanya jelas: setiap tahun kasus tawuran muncul, meski instruksi gubernur dan tindakan polisi sudah berulang kali dijalankan.
Polisi Bertindak Cepat, Tapi Siklus Terulang
Polresta Kendari bergerak cepat pasca insiden terbaru. 24 pelajar diringkus, lima ditetapkan sebagai tersangka, sementara 19 lainnya dipulangkan dengan status wajib lapor.
“Empat orang kami tahan, satu pelaku masih dalam pengejaran. Sisanya kami pulangkan untuk pembinaan keluarga, tapi tetap wajib lapor dua kali seminggu,” jelas Kasat Reskrim Polresta Kendari, AKP Welliwanto Malau.
Meski polisi sigap, publik tak bisa menutup mata pada paradoks: setiap kali kasus ditangani, kasus baru segera muncul.

Polresta Kendari amankan 24 Pelajar di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) usai terlibat pengeroyokan seorang pelajar, 5 ditetapkan sebagai tersangka. Humas Polda Sultra
Gubernur Andi Sumangerukka: Instruksi Tegas, Tapi Cukupkah?
Gubernur Sultra, Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka (ASR), turun tangan dengan enam instruksi darurat:
1. Patroli gabungan sekolah–Satpol PP
2. Identifikasi akar masalah siswa
3. Penguatan ekstrakurikuler kolaboratif
4. Pendekatan humanis guru dan orang tua
5. Tes urin acak bagi siswa dan guru
6. Apel umum pelajar secara berkala
“Sekolah harus kembali jadi tempat aman, bukan arena kekerasan,” tegas ASR di hadapan ratusan pelajar SMKN 2 Kendari.
Instruksi ini penting, tetapi publik masih sangsi: apakah benar-benar dijalankan konsisten, atau hanya jadi respon sesaat?
Sultra Harus Jadi Contoh Nasional
Kekerasan pelajar bukan hanya persoalan Kendari atau Sultra. Di berbagai daerah lain, fenomena serupa juga kerap terjadi. Namun justru di titik inilah, Sultra punya peluang emas untuk menjadi contoh nasional.
Langkah yang bisa ditempuh:
– Evaluasi total SMA/SMK di Kendari dan seluruh Sultra.
– Membentuk tim independen yang melibatkan akademisi, psikolog, dan tokoh adat.
– Mendirikan pusat rehabilitasi remaja untuk pelajar bermasalah.
– Mengembangkan ekstrakurikuler kreatif yang benar-benar diminati siswa.
– Menerapkan sanksi tegas bagi sekolah yang abai terhadap potensi tawuran.
Jika Sultra berani melangkah, provinsi ini akan dikenang sebagai daerah yang berhasil memutus siklus kekerasan pelajar dan mengembalikan marwah sekolah sebagai ruang belajar, bukan arena bentrok.
Harapan dari Sultra untuk Indonesia
Hari ini, Sultra berada di persimpangan.
Jika hanya mengandalkan instruksi dan razia, kasus tawuran akan terus berulang.
Jika berani membuat terobosan kebijakan pendidikan yang komprehensif, Sultra bisa jadi pionir nasional.
Paradoks ini sekaligus harapan. Sultra perlu membuktikan bahwa daerah itu bisa jadi contoh nasional tanpa kekerasan pelajar.
Pertanyaan publik kini jelas: Apakah Sultra berani menjawab tantangan sejarah, ataukah tragedi pelajar akan terus menjadi berita tahunan?
(Red)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini