KENDARI — Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Andi Sumangerukka (ASR) menghadapi tekanan publik usai Kantor Penghubung Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra di Jakarta melaporkan sejumlah mahasiswa asal Sultra ke Polrestabes Jakarta Pusat, Rabu (8/10/2025).
Pelaporan itu dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat dan mencerminkan sikap pemerintah daerah yang anti kritik.
Aksi mahasiswa yang tergabung dalam berbagai organisasi asal Sultra di Jakarta sebenarnya merupakan bentuk protes terhadap belum terealisasinya janji pembangunan Asrama Mahasiswa Sultra, yang sudah lama dijanjikan oleh Gubernur ASR. Namun, bukannya membuka ruang dialog, pihak Kantor Penghubung Pemprov justru menempuh jalur hukum dengan tuduhan “penguasaan kantor” dan “perusakan aset”.
Langkah ini memicu kecaman luas dari publik dan aktivis masyarakat sipil yang menilai tindakan tersebut berlebihan, kontraproduktif terhadap semangat demokrasi, dan melemahkan partisipasi publik.
“Apakah kini menyampaikan aspirasi harus berakhir di kantor polisi? Ini paradoks kekuasaan yang memalukan. Mahasiswa datang membawa suara publik, bukan untuk merusak, melainkan menagih janji pemerintah sendiri,” tegas Kisran Makati, Koordinator Forum Pegiat Pelayanan Publik (FP3) Sulawesi Tenggara di Kendari, Kamis (9/10/2025).
FP3 Kecam Kriminalisasi dan Desak Gubernur ASR Minta Maaf
Forum Pegiat Pelayanan Publik (FP3) Sulawesi Tenggara secara tegas mengutuk tindakan pelaporan mahasiswa oleh Kantor Penghubung Pemprov Sultra. Mereka menilai hal ini sebagai bukti ketidakdewasaan pemerintah dalam mengelola kritik publik, padahal suara mahasiswa adalah bagian dari kontrol sosial dalam demokrasi.
Dalam pernyataannya, FP3 mendesak Gubernur Andi Sumangerukka untuk:
1. Mencabut laporan polisi terhadap mahasiswa dan menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi;
2. Menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada publik atas tindakan pelaporan yang dianggap mencederai prinsip demokrasi;
3. Segera merealisasikan pembangunan Asrama Mahasiswa Sultra di Jakarta sebagai tanggung jawab moral dan politik;
4. Membuka ruang dialog terbuka antara pemerintah dan mahasiswa agar komunikasi publik lebih sehat dan bermartabat.
“Mahasiswa bukan musuh pemerintah. Suara rakyat bukan ancaman, melainkan pengingat agar kekuasaan tetap berpihak pada kebenaran dan keadilan,” tambah Kisran Makati.
FP3 Minta Ombudsman RI Periksa Kantor Penghubung Pemprov Sultra
FP3 juga mendesak Ombudsman Republik Indonesia untuk turun tangan memeriksa dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang oleh Kantor Penghubung Pemprov Sultra di Jakarta.
Menurut FP3, tindakan pelaporan mahasiswa ke polisi bukan bagian dari fungsi lembaga tersebut, melainkan pelanggaran terhadap prinsip pelayanan publik yang partisipatif dan humanis.
“Pemerintah seharusnya melayani, bukan menakut-nakuti masyarakatnya sendiri. Kami mendorong Ombudsman memeriksa dugaan penyalahgunaan kewenangan ini,” ujar Kisran.
FP3 menilai langkah pemeriksaan ini penting agar seluruh lembaga pemerintah daerah tetap bekerja sesuai mandat dan menjaga transparansi serta akuntabilitas publik.
Kekhawatiran atas Memburuknya Iklim Demokrasi di Sultra
Koalisi masyarakat sipil juga menyuarakan kekhawatiran terhadap memburuknya iklim demokrasi di daerah, di mana kritik publik kini semakin sering dijawab dengan pendekatan hukum dan represi.
Mereka menegaskan, pendekatan seperti ini hanya akan memperlebar jarak antara pemerintah dan rakyat, sekaligus menggerus kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan daerah.
“Yang dibutuhkan mahasiswa adalah komitmen dan keterbukaan, bukan intimidasi. Jika ruang demokrasi terus dikecilkan, maka ketegangan sosial akan semakin besar,” tutup Kisran Makati. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini