KENDARI — Dana jaminan reklamasi tambang nikel di Sulawesi Tenggara yang mencapai Rp26 triliun kini menjadi sorotan tajam. Pasalnya, puluhan triliun rupiah tersebut terparkir di bank milik negara dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Kini, pemerintah daerah khususnya di Sulawesi Tenggara, mempertanyakan transparansi dan mendesak agar dana itu dikembalikan ke daerah demi kepentingan lingkungan dan masyarakat terdampak tambang.
Isu ini mencuat dalam Rapat Tim Koordinasi Supervisi Pencegahan Korupsi (Korsupgah) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota se-Sulawesi Tenggara, Kamis, 31 Juli 2025. Hadir dalam forum ini Pelaksana Tugas Deputi Koordinasi dan Supervisi KPK, Agung Yudha Wibowo, Gubernur Sultra Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka, Wakil Gubernur Hugua, serta para kepala daerah.

Peserta Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi Terintegrasi Pemerintah Provinsi Sultra yang berlangsung pada Kamis, 31 Juli 2025. PPID
Dalam sesi diskusi terbuka, Bupati Konawe Selatan, Irham Kalenggo, secara tegas mengungkapkan kegelisahannya terkait dana jaminan reklamasi.
Ia mengaku tidak mengetahui secara pasti berapa total dana yang telah disetor oleh perusahaan tambang di wilayahnya. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang akuntabilitas, akses informasi, dan pengelolaan dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk pemulihan lingkungan pasca-tambang.
KPK: Korupsi Sektor Pertambangan Masih Mengkhawatirkan
Plt Deputi Korsup KPK, Agung Yudha Wibowo, menyampaikan bahwa sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang rawan korupsi dan minim transparansi.
Hingga Triwulan I 2025, KPK mencatat 483 kasus korupsi melibatkan sektor swasta dan 437 kasus berasal dari jajaran eselon I hingga IV pemerintah daerah.
Menurut Agung, praktik korupsi kerap bersembunyi di balik prosedur legal yang disalahgunakan.
Dalam konteks reklamasi tambang, KPK menyoroti adanya perusahaan yang menyetor jaminan reklamasi meski beroperasi ilegal di kawasan hutan tanpa mengantongi izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
“Harusnya kalau tidak punya PPKH, setoran jaminan reklamasi ditolak. Tapi justru dana diterima. Ini memberi kesan bahwa kegiatan ilegal menjadi terlihat legal. Ini tidak boleh terjadi,” tegas Agung.
Kajian internal KPK sejak 2009 menemukan bahwa lebih dari setengah perusahaan tambang dengan IUP tidak aktif dan banyak yang beroperasi tanpa kelengkapan izin. Namun, setoran jaminan reklamasi tetap diterima oleh negara.
Pemerintah Daerah Minta Dana Reklamasi Dikelola Lokal
Pemda Sulawesi Tenggara mendorong agar dana jaminan reklamasi yang telah disetor ke negara bisa dikembalikan ke daerah untuk dikelola secara lebih dekat, tepat sasaran, dan mendukung pemulihan lingkungan.
Gubernur Sultra Andi Sumangerukka menegaskan bahwa Pemprov belum sepenuhnya mampu mengimplementasikan sistem pencegahan korupsi yang utuh karena terbatasnya ruang fiskal dan belum optimalnya sinergi antar-OPD dan DPRD.
“Kami berharap KPK memberikan arahan agar dana reklamasi bisa benar-benar digunakan sesuai fungsi—untuk rehabilitasi lahan dan lingkungan yang rusak akibat tambang,” katanya.
Titik Rawan Korupsi di Daerah: Dari Perizinan hingga Pengadaan Barang dan Jasa
Dalam forum Korsupgah, KPK juga memaparkan delapan titik rawan korupsi di daerah:
1. Perencanaan: proyek fiktif, pokok pikiran (pokir) tanpa kajian, hibah tidak transparan.
2. Penganggaran: indikasi mark-up, proyek siluman, hingga pemecahan paket.
3. PBJ (Pengadaan Barang/Jasa): 90% kasus korupsi terjadi di sektor ini.
4. Perizinan dan Pelayanan Publik: lambat, tidak transparan, dan rawan suap.
5. Pengelolaan Aset: banyak aset tak terdata, bahkan dijaminkan ke bank.
6. Manajemen ASN: jual beli jabatan, rotasi asal-asalan, jabatan Plt berlarut.
7. Pendapatan Daerah: ketergantungan pada pusat, minim inovasi.
8. Pengawasan Internal (SPI/APIP): lemah dan rentan intervensi.
APBD Sultra 2025: Belanja Pegawai Dominan, Pembangunan Terbatas
Dengan APBD sebesar Rp5 triliun, Provinsi Sulawesi Tenggara masih menghadapi tantangan besar dalam mengalokasikan anggaran secara efisien.
Dari total belanja, Rp1,34 triliun (49%) terserap untuk belanja pegawai, sementara anggaran untuk infrastruktur hanya menyentuh angka Rp222 miliar.
Tak hanya itu, terdapat 2.266 paket pengadaan langsung, yang diduga merupakan upaya memecah proyek agar menghindari mekanisme tender terbuka.
“Pemecahan paket adalah modus klasik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa,” tegas Agung.
Rendahnya Indeks Integritas: Tanda Bahaya Tata Kelola Daerah
Indeks integritas Sultra juga mendapat sorotan. Tahun 2024, nilai Survei Penilaian Integritas (SPI) berada di angka 71,94, sedangkan Monitoring Controlling Surveillance for Prevention (MCSP) hanya 37,38. Nilai ini dinilai belum cukup merepresentasikan sistem pengawasan yang kuat dan efektif.
Langkah Strategis dan Rekomendasi KPK
Sebagai solusi, KPK mengusulkan agar pemda:
– Bersurat ke kementerian/lembaga terkait dan menembuskan ke KPK.
– Mengoptimalkan peran inspektorat dan SPI dengan SDM yang andal.
– Berkolaborasi dengan APH dalam penindakan kasus secara terbuka dan akuntabel.
– Melibatkan masyarakat dalam pengawasan anggaran publik.
Dana Jaminan Reklamasi Harus Transparan dan Akuntabel
Puluhan triliun rupiah dana jaminan reklamasi tidak boleh dibiarkan mengendap tanpa kejelasan. Pemerintah pusat dan daerah harus segera membangun sistem pengelolaan yang transparan, tepat guna, dan berpihak pada kepentingan lingkungan serta masyarakat. Tanpa itu, upaya pemberantasan korupsi di sektor tambang hanya akan menjadi jargon kosong tanpa realisasi. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini