MAKASSAR – Polemik klaim kepemilikan atas Pulau Kakabia atau Pulau Kawi-Kawia kembali mencuat ke publik. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa pulau yang terletak di perbatasan Teluk Bone itu masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra), namun Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) masih ngotot menyatakan Pulau Kakabia adalah bagian dari Kepulauan Selayar.
Pernyataan itu ditegaskan oleh Kepala Bidang Tata Ruang Dinas SDA CKTR Sulsel, Andi Yurnita, yang merujuk pada sejumlah regulasi resmi. Di antaranya, Permendagri Nomor 45 Tahun 2011 dan Keputusan Mendagri Nomor 100.1.1-6117 Tahun 2022, yang menurutnya menempatkan Pulau Kakabia di wilayah Sulsel.
“Satu Permendagri dan satu SK Mendagri dengan jelas menyebut bahwa Pulau Kakabia masuk wilayah Sulsel, tepatnya dalam administratif Kabupaten Kepulauan Selayar,” ujar Yurnita, Senin (23/6/2025) dikutip dari pernyataannya di sejumlah media lokal setempat.
Andi Yurnita menambahkan, posisi Pulau Kakabia telah tercantum dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulsel Tahun 2022 yang telah melalui pembahasan lintas sektor, termasuk Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Dalam Negeri.
“Sudah fix, ya. Kakabia masuk wilayah Sulsel,” tegasnya.
Namun di sisi lain, Pulau Kakabia juga dimasukkan dalam RTRW Provinsi Sultra. Hal ini menyebabkan kedua provinsi menyusun berita acara sinkronisasi wilayah pada 2021. Dalam kesepakatan itu, daratan Pulau Kakabia ditetapkan sebagai kawasan konservasi, sedangkan wilayah lautnya diarahkan untuk perikanan tangkap dan pariwisata.
Putusan MK dan Dasar Hukum Buton Selatan
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Buton Selatan mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kabupaten Buton Selatan sebagai dasar sah kepemilikan Pulau Kakabia. Hal ini juga diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan Pulau Kakabia merupakan bagian sah dari Buton Selatan.
Ahli hukum tata negara Muhammad Rullyandi, dalam sidang MK, menegaskan bahwa pencantuman Pulau Kakabia dalam UU Buton Selatan adalah hasil kebijakan hukum terbuka (open legal policy).
“Tidak ada hubungan administratif antara Pulau Kakabia dengan Kabupaten Kepulauan Selayar. Wilayah ini secara eksplisit masuk peta Buton Selatan dalam UU pembentukannya,” ujarnya.
Rullyandi juga menyebut bahwa penandatanganan dokumen pembentukan Buton Selatan dilakukan oleh Bupati Buton, Wali Kota Baubau, DPRD Buton dan Baubau, serta Gubernur Sultra. Sementara Kabupaten Kepulauan Selayar tidak terlibat dalam proses tersebut.
Perspektif Sejarah dan Administrasi
Pulau Kakabia yang saat ini tidak berpenghuni, berada di perairan strategis Teluk Bone. Sengketa wilayah ini mulai muncul sejak 2014, usai terbitnya UU pembentukan Buton Selatan yang memasukkan pulau tersebut ke dalam wilayah barunya.
Menurut ahli sejarah La Niampe, dalam perspektif sejarah, Pulau Kakabia memang dahulu pernah masuk dalam wilayah Kepulauan Selayar pada masa kolonial Belanda. Namun, dalam konteks hukum modern, batas wilayah diatur melalui regulasi nasional yang sah.
“Setelah Indonesia merdeka, aturan wilayah ditentukan berdasarkan undang-undang yang berlaku, bukan lagi berdasarkan peta kolonial,” ujarnya.
Langkah Penyelesaian: MoU dan Permendagri 141/2017
Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka (ASR), menyebut pihaknya telah menjalin komunikasi dengan Pemprov Sulsel untuk menghindari konflik berkepanjangan. Kedua pihak disebut telah menyepakati Nota Kesepahaman (MoU) terkait pemanfaatan Pulau Kakabia, meski belum secara resmi mengakhiri konflik batas wilayah.
“Kami sepakat Kakabia bagian dari Sultra, dan penataan ruangnya sedang difinalisasi,” ujar ASR diawal menjabat sebagai gubernur Sultra.
Dalam hal penyelesaian administratif, Rullyandi menyarankan penggunaan Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah sebagai dasar menyelesaikan perselisihan ini.
Meskipun Putusan MK telah menegaskan status Pulau Kakabia sebagai bagian dari Kabupaten Buton Selatan, klaim Pemprov Sulsel tetap mengemuka, dengan berpegang pada regulasi yang berbeda. Dualisme ini menunjukkan perlunya penyelesaian yang terstruktur melalui mekanisme lintas kementerian, dengan tetap mengedepankan asas legalitas dan kepastian hukum.
Pulau Kakabia bukan hanya soal batas wilayah, tapi juga menyangkut pengelolaan ruang, konservasi lingkungan, dan kedaulatan administratif. Maka penyelesaian damai dan komprehensif menjadi satu-satunya jalan terbaik bagi kedua provinsi. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post