MAKASSAR – Apa yang dikhawatirkan oleh banyak pakar, akhirnya benar-benar terjadi.
Gelombang penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang awalnya meletup di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kini meluas ke Sulawesi Selatan. Ribuan massa dari Aliansi Rakyat Bone Bersatu pada Selasa (19/8/2025) siang menggelar aksi besar-besaran di depan Kantor Bupati Bone.
Sejak pagi, Lapangan Merdeka Bone telah dipenuhi massa yang membawa poster bertuliskan “Cabut Kenaikan PBB”. Sekitar pukul 11.30 WITA, ribuan warga bergerak berkonvoi melalui Jalan Ahmad Yani dan Jalan Petta Ponggawae hingga akhirnya tiba di kantor bupati.
Namun kekecewaan memuncak setelah mengetahui Bupati Bone, Andi Asman Sulaiman, maupun wakilnya Andi Akmal Pasluddin, tidak berada di tempat.
Ketiadaan pimpinan daerah untuk berdialog langsung membuat emosi massa kian meledak. Bahkan pagar Kantor Bupati Bone sempat dijebol massa yang menolak mundur.
Aksi Terencana, Bukan Gerakan Spontan
Berbeda dengan aksi-aksi singkat, penolakan kenaikan PBB-P2 di Bone kali ini merupakan gerakan yang terorganisir.
Sejak 15 Agustus, posko aksi telah berdiri di Jalan Ahmad Yani Hos Cokro. Dari warga terus berdatangan bantuan berupa air mineral, makanan ringan, hingga terpal untuk mendukung aksi yang berlanjut berhari-hari.
“Kita belajar dari aksi di Pati. Saat pemerintah keras, rakyat harus lebih keras lagi,” tegas Arfah, Koordinator Posko Aliansi Rakyat Bone Bersatu.
Bahkan hingga sore hari, 15 organisasi masyarakat, mahasiswa, dan elemen pemuda bergantian menyampaikan orasi. Mereka menilai kebijakan kenaikan PBB-P2 yang disebut mencapai 300 persen adalah bentuk “kezaliman terhadap rakyat kecil”.
Pemerintah Bungkam, Massa Frustrasi
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari Bupati Bone maupun wakilnya. Sumber internal menyebutkan bupati sedang berada di luar daerah, namun tanpa penjelasan lebih lanjut. Sikap bungkam inilah yang memperbesar frustrasi massa.
Polisi dan aparat gabungan TNI-Polri berjumlah 1.000 personel dikerahkan untuk mengamankan jalannya aksi. Bahkan water cannon disiagakan apabila situasi semakin memanas. Meski demikian, massa tetap bertahan dengan spanduk besar bertuliskan “Cabut Kenaikan PBB-P2”.
Peringatan Tegas dari Mendagri
Gejolak PBB-P2 yang bermula dari Pati dan meluas hingga Bone juga mendapat perhatian serius pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengeluarkan peringatan tegas kepada pemerintah daerah yang memberlakukan kenaikan PBB-P2 dengan angka signifikan.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat ada 104 daerah yang telah menaikkan PBB-P2, bahkan 20 di antaranya menetapkan kenaikan lebih dari 100 persen.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak boleh memberatkan rakyat. Ia menyampaikan bahwa Mendagri sudah mengeluarkan surat edaran khusus yang meminta pemerintah daerah mengevaluasi kembali keputusan mereka.
“Pak Menteri sudah mengeluarkan surat edaran mengimbau untuk melakukan evaluasi lagi,” kata Bima di Kantor Kemendagri, Jakarta, Rabu (20/8/2025) lalu.
Menurutnya, pemerintah daerah harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan fiskal, khususnya terkait pajak yang langsung bersentuhan dengan masyarakat kecil.
Kasus Pati Jadi Pemantik Nasional
Peringatan Kemendagri ini tidak lepas dari peristiwa unjuk rasa di Kabupaten Pati. Bupati Pati, Sudewo, diketahui menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen, sehingga memicu gelombang protes besar pada 13 Agustus 2025. Aksi tersebut diwarnai bentrokan antara massa dan aparat keamanan, menyebabkan sejumlah warga serta petugas mengalami luka.
Situasi di Pati bahkan telah berkembang menjadi isu politik serius. DPRD Kabupaten Pati resmi menggulirkan Panitia Khusus (Pansus) untuk memproses pemakzulan Bupati Sudewo. Mendagri Tito Karnavian juga sudah mengirimkan surat teguran langsung kepada Sudewo, hingga akhirnya kebijakan itu diralat.
Gejolak PBB Bisa Jadi Api Nasional
Fenomena penolakan kenaikan PBB-P2 di Bone menegaskan bahwa gejolak Pati bukan kasus lokal semata, melainkan potensi krisis sosial nasional. PBB, yang seharusnya menjadi instrumen keadilan fiskal daerah, kini justru dianggap menekan kelompok rentan.
Kenaikan hingga 300 persen tanpa sosialisasi yang memadai memunculkan kesan kebijakan sepihak. Ketika beban ekonomi rakyat meningkat akibat harga kebutuhan pokok dan biaya hidup yang kian melambung, kebijakan ini menjadi bahan bakar yang mudah memicu amarah publik.
Apalagi, absennya bupati untuk berdialog langsung dianggap sebagai bentuk pengabaian aspirasi rakyat.
Dalam konteks politik lokal, ketidakmampuan pemimpin daerah merespons cepat bisa berimplikasi pada merosotnya legitimasi pemerintah, bahkan memicu gerakan solidaritas lintas daerah.
Jika tidak segera diredam dengan solusi yang adil dan transparan, gejolak Pati–Bone berpotensi menular ke daerah lain. Hal ini bisa menjadi tantangan serius bagi pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas sosial menjelang tahun politik. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini