JAKARTA – Skandal beras oplosan kembali mencuat dengan skala yang mengejutkan.
Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, mengungkap bahwa sebanyak 212 merek beras terindikasi melakukan pengoplosan dan pelanggaran standar mutu, yang merugikan konsumen hingga nyaris Rp100 triliun per tahun.
Temuan ini merupakan hasil investigasi lapangan yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian bersama Satgas Pangan Polri.
Menurut Amran, modus yang digunakan para pelaku sangat merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun kualitas konsumsi.
“Ini seperti menjual emas 18 karat tapi mengklaim 24 karat. Konsumen kita dirugikan hampir Rp100 triliun,” tegas Mentan Amran, dikutip Minggu (20/7/2025).
Apa Itu Beras Oplosan?
Beras oplosan adalah campuran dari beberapa jenis atau kualitas beras yang dijual seolah-olah sebagai beras premium. Praktik curang ini dilakukan dengan cara:
– Mengurangi berat bersih kemasan (misalnya ditulis 5 kg, isi hanya 4,5 kg),
– Menyisipkan beras kualitas rendah ke dalam kemasan beras premium,
– Menggunakan label dan klaim yang menyesatkan dan tidak sesuai standar mutu pangan nasional.
Akibatnya, konsumen membayar lebih mahal untuk kualitas yang seharusnya jauh lebih murah.
Dalam konferensi pers, Mentan Amran menyebut sejumlah merek dari berbagai produsen besar yang masuk dalam daftar temuan awal. Di antaranya:
Sania, Sovia, Fortune, dan Siip – Diproduksi oleh Wilmar Group
Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Food Station, Setra Pulen – Milik Food Station Tjipinang Jaya
Raja Platinum, Raja Ultima – Milik PT Belitang Panen Raya
Ayana – Diproduksi oleh PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group)
Merek-merek tersebut adalah bagian dari 212 merek yang tengah dalam proses pengumuman bertahap oleh pemerintah. Beberapa di antaranya telah ditarik dari peredaran oleh sejumlah ritel modern setelah viral di media sosial.
Praktik beras oplosan ini tidak hanya melanggar hukum, tapi juga mengancam kepercayaan publik terhadap produk pangan dalam negeri. Pengawasan terhadap standar mutu beras nasional dinilai masih lemah, dan masyarakat pun mendesak agar pemerintah segera menindak tegas para pelakunya.
Ciri-Ciri Beras Oplosan Bisa Dikenali Secara Kasat Mata
Prof Tajuddin Bantacut, Pakar Teknologi Industri Pertanian IPB University mengungkap ciri-ciri beras oplosan yang bisa dikenali secara kasat mata.
Ia menjelaskan bahwa beras oplosan dapat terlihat dari warna yang tidak seragam, butiran yang berbeda ukuran, dan tekstur nasi yang lembek setelah dimasak.
“Jika menemukan nasi yang berbeda dari biasanya seperti warna, bau (aroma), tekstur dan butiran maka dapat ‘dicurigai’ sebagai beras yang telah dioplos dalam arti terdapat kerusakan mutu atau keberadaan benda asing,” jelasnya di Kampus IPB Dramaga, Bogor.
Dalam beberapa kasus, beras oplosan juga dicampur dengan bahan tambahan benda asing termasuk zat pewarna atau pengawet berbahaya yang dapat membahayakan kesehatan jika dikonsumsi dalam jangka panjang.
Ia mengimbau agar masyarakat mewaspadai beras yang terlihat tidak biasa, berwarna aneh, atau berbau.
“Hindari membeli beras tanpa label atau dari sumber yang tidak jelas. Cuci beras sebelum dimasak dan waspadai bila ada benda asing yang mengambang,” ucapnya.
Perihal daya simpan, ia menjelaskan bahwa idealnya beras hanya disimpan maksimal enam bulan agar kualitasnya tetap terjaga. Sebab, beras juga bisa mengalami kerusakan secara alami, terutama jika disimpan terlalu lama.
Menurutnya, meski beras sudah disimpan di tempat yang terkendali, kualitasnya tetap bisa menurun akibat faktor lingkungan, hama, atau mikroorganisme.
“Beras yang rusak bisa dipoles ulang. Namun, jika kerusakannya sudah parah, baik secara fisik, kimiawi, maupun mikrobiologis, maka tidak layak untuk dikonsumsi. Terlebih apabila mengandung bahan kimia atau pengawet, bisa berbahaya untuk kesehatan, “ jelasnya.
Ia menambahkan, terdapat tiga jenis beras yang dikaitkan oplosan yang beredar di masyarakat.
Pertama, beras campuran yang dicampur dengan bahan lain seperti jagung. Jenis ini secara umum ditemukan di beberapa daerah.
Kedua, beras “blended” atau campuran beberapa jenis beras untuk memperbaiki rasa dan tekstur.
Ketiga, beras yang dicampur dengan bahan tidak lazim atau sudah rusak, kemudian dikilapkan atau dipoles ulang agar tampak bagus kembali, padahal mutunya sudah menurun.
Prof Tajuddin mengajak masyarakat agar lebih cermat saat membeli beras dan waspada terhadap penipuan kualitas. Selain itu, perlu edukasi yang lebih luas agar masyarakat memahami dampak kesehatan dari mengonsumsi beras yang sudah rusak atau tercemar.
“Jika dikelola dengan baik, sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya tidak hanya fokus pada produksi, tetapi juga pada distribusi dan konsumsi beras secara merata dan aman,” tandasnya. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post