JAKARTA – Dugaan korupsi berjamaah mengemuka di balik aktivitas tambang nikel ilegal Harita Group di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.
Meski telah dinyatakan ilegal melalui putusan hukum tetap, aktivitas pertambangan nikel oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang merupakan anak usaha Harita Group, tetap berlangsung di pulau itu. Ironisnya, operasi tambang ilegal tersebut diduga mendapat perlindungan dari oknum institusi negara.
Fakta ini mendorong Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK) untuk melaporkan secara resmi PT GKP ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada 14 Mei 2025. Laporan tersebut menyertakan dugaan korupsi yang mengiringi operasi tambang di wilayah yang telah dinyatakan sebagai zona tanpa izin tambang.
“Kami mencium indikasi kuat adanya praktik korupsi berjamaah yang melibatkan institusi negara dalam memberikan perlindungan kepada PT GKP,” tegas Yulianto Behar Nggali Mara, Tim Kuasa Hukum TAPaK.
Kalah di Meja Hukum, Menang di Lapangan
Pulau Wawonii adalah rumah bagi lebih dari 42 ribu jiwa dan bagian dari ekosistem pesisir yang rawan. Namun, kenyataannya, keputusan hukum tak mampu menghentikan kerusakan lingkungan.
Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan No. 403 K/TUN/TF/2024 telah membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP. Bahkan sebelumnya, MA juga menganulir dua pasal dalam Perda Konawe Kepulauan No. 2/2021 yang membuka ruang bagi pertambangan.
Sebagai penguat, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 35/PUU-XXI/2023 menolak legalisasi pertambangan di pulau kecil seperti Wawonii.
Namun, data menunjukkan sebaliknya. Berdasarkan analisis citra satelit oleh koalisi advokasi, 62,66 hektare hutan hilang pada 2024, dan bertambah menjadi 188,94 hektare pada 2025 akibat aktivitas tambang ilegal GKP.
Dugaan Kerugian Negara Mencapai Rp 276 Triliun
Lebih mencengangkan, sedikitnya 116 kapal tongkang telah mengangkut 928.000 ton nikel dari Wawonii, padahal status tambang itu ilegal. Jika mengacu pada harga pasar global yang dirilis Bank Dunia, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 261–276 triliun.
Mirisnya, meski ilegal, PT GKP tetap membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang oleh JATAM dan TAPaK dinilai sebagai bentuk pembiaran dan pembenaran diam-diam oleh negara.
“Itu bukti nyata bahwa negara menerima uang dari kejahatan lingkungan,” ujar Fikerman Saragih, anggota Tim Hukum TAPaK.
Selain itu, laporan keuangan Harita Group juga dinilai tidak transparan, karena tidak mencantumkan kontribusi PT GKP, meski operasional dan ekspor nikel dari Pulau Wawonii berjalan masif.
Dugaan Keterlibatan Lembaga Negara
JATAM dan TAPaK menuding adanya dukungan atau pembiaran dari beberapa lembaga negara seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Aparat Kepolisian.
“Kami menduga keterlibatan institusi negara dalam pembiaran praktik ilegal ini. Ini harus diusut tuntas oleh Kejaksaan Agung,” ujar Yulianto.
Kasus ini menjadi potret nyata pembangkangan hukum secara sistematis dan terstruktur, melibatkan kekuatan ekonomi dan kekuasaan negara.
Dalam laporan resminya, TAPaK dan JATAM menyampaikan empat tuntutan utama kepada Kejaksaan Agung:
1. Segera selidiki dugaan korupsi yang memungkinkan PT GKP tetap beroperasi pasca kekalahan hukum.
2. Periksa seluruh lembaga negara yang terlibat atau membiarkan praktik tambang ilegal ini.
3. Minta pertanggungjawaban Harita Group, termasuk transparansi laporan produksi dan keuangan.
4. Hentikan aktivitas tambang di Pulau Wawonii dan lakukan pemulihan lingkungan bersama masyarakat terdampak.
“Kami mengajak masyarakat, akademisi, dan media untuk mengawal kasus ini. Jangan biarkan hukum tunduk pada kepentingan korporasi,” tegas Fikerman.
“Jika Kejaksaan Agung gagal bersikap tegas, maka eksploitasi pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia akan semakin sulit dicegah,” tandasnya. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post