KENDARI – Sorotan terhadap pemekaran Provinsi Kepulauan Buton (Kepton) kembali mencuat dalam kunjungan kerja Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR RI di Kendari pada Kamis (17/7/2025).
Salah satu pengusung utama aspirasi ini, Rusda Mahmud, menyuarakan pertanyaan yang menggugah: “Kalau Yogyakarta bisa jadi provinsi, kenapa Buton tidak?”
Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Menurut Rusda, Kesultanan Buton memiliki legitimasi sejarah yang kuat sebagai entitas politik, setara dengan Kerajaan Yogyakarta, Gowa, maupun Ternate.
Ia menegaskan bahwa perjuangan pembentukan Kepton bukan isu baru, melainkan aspirasi lama yang belum juga mendapat kepastian.
“Saat saya maju sebagai calon gubernur, Kepton sudah menjadi visi politik saya. Kini saya di Komisi II DPR RI, saya jadikan ini sebagai prioritas,” kata Rusda, usai pertemuan dengan jajaran pemerintah provinsi dan kabupaten di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara.
Menurut Rusda, pemekaran Provinsi Kepulauan Buton akan membawa dampak nyata dalam mendekatkan layanan publik dan membuka lapangan kerja.
Ia mencontohkan keberhasilan Kolaka Utara yang dulunya hanyalah kecamatan dengan anggaran minim.
“Dulu Lasusua cuma dapat Rp4 miliar per tahun. Sekarang, setelah jadi kabupaten, anggarannya sudah di atas Rp1 triliun. Kepton punya potensi lebih besar,” ungkapnya.
Kesultanan Buton: Entitas Historis yang Terlupakan
Wakil Gubernur Sultra, Hugua, turut menyuarakan dukungan terhadap pemekaran Kepton. Ia menilai bahwa Kesultanan Buton yang telah berdiri lebih dari 400 tahun layak mendapat pengakuan setara dengan Yogyakarta.
“Ini bukan soal daerah minta keistimewaan. Ini soal pengakuan sejarah. Kalau Yogyakarta diakui karena kerajaannya, kenapa Buton tidak?” ujar Hugua.
Menurutnya, Buton memiliki rekam jejak panjang sebagai kekuatan politik dan budaya, namun selama ini tidak mendapat tempat yang semestinya dalam struktur kenegaraan modern.
Komisi II DPR Bahas 10 RUU, Kepton Masuk Radar Prioritas
Kunjungan Komisi II DPR RI ke Sultra juga merupakan bagian dari pembahasan 10 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kabupaten/kota, yang bertujuan memperbarui dasar hukum administratif sesuai UUD 1945. Empat wilayah utama Sultra—Buton, Kolaka, Konawe, dan Muna—ikut terlibat dalam diskusi ini.
“Ini bukan soal Daerah Otonom Baru (DOB) semata, tapi penataan ulang hukum dan pengakuan terhadap identitas sejarah daerah,” tegas Rusda.
Diskusi berlangsung hangat dan dinamis. Kabupaten Muna mengangkat isu hari jadi dan identitas kepulauan.
Buton menyoroti ketidakadilan terhadap pengelolaan aspal lokal dan pengabaian sejarah kesultanan.
Konawe menyoroti batas wilayah, sementara Kolaka mendorong penguatan identitas Kerajaan Mekongga.
Pemekaran Masih Terganjal Regulasi, Tapi Pintu Mulai Terbuka
Meski moratorium pemekaran daerah masih berlaku, Rusda berharap pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto bisa membuat terobosan politik.
“Sedih saya. Ini perjuangan panjang masyarakat. Tapi sampai sekarang belum juga terwujud,” ujar Rusda dengan mata berkaca-kaca.
Menanggapi hal itu, Hugua mengungkapkan bahwa masih ada dua Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjadi ganjalan utama, yakni soal desain wilayah dan batas administratif. Namun ia optimistis: “Pintu untuk pemekaran sudah sedikit terbuka.”
Komisi II DPR RI menegaskan bahwa pembahasan RUU ini adalah bagian dari upaya membangun sistem pemerintahan yang menghormati sejarah dan kearifan lokal.
Kepton bukan hanya soal pemekaran wilayah, tapi tentang pengakuan terhadap sejarah, budaya, dan keadilan antarwilayah.
Menutup pertemuan, Rusda meminta semua masukan dari kabupaten/kota dikirimkan secara tertulis paling lambat Senin mendatang, agar bisa dibawa ke pembahasan lanjutan di DPR RI. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post