KENDARI – Ancaman kerusakan lingkungan di Sulawesi Tenggara kian nyata.
Sebanyak 1.000 hektare hutan mangrove di Kabupaten Konawe Utara terpantau rusak parah. Padahal, ekosistem mangrove di wilayah ini merupakan salah satu yang terluas di provinsi tersebut.
Data menunjukkan, dari total 92.450 hektare luas mangrove yang tersebar di 16 kabupaten/kota di Sultra, sekitar 1.800 hektare berada di pesisir Pantai Wawolasea, Konawe Utara. Namun mirisnya, kini hanya 800 hektare yang masih dalam kondisi baik. Sisanya, sekitar 1.000 hektare mengalami degradasi parah akibat ulah manusia.
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Prof. Dr. Ir. Aminudin Mane Kandari menegaskan, kerusakan mangrove sebagian besar disebabkan oleh penebangan liar, pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan, serta pencemaran sampah laut yang tidak terkendali.
“Satu pohon mangrove mampu menyerap karbon lima kali lebih banyak dari pohon biasa. Kerusakan ini sangat berdampak terhadap perubahan iklim dan kehidupan pesisir,” jelas Prof. Aminudin dikutip Sabtu (5/7/2025).
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan dan perawatan pasca-penanaman, karena tanpa keterlibatan aktif masyarakat sekitar, program rehabilitasi hanya akan menjadi formalitas.
Aksi Tanam 5.000 Pohon Mangrove
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan ini, Daaz Group berkolaborasi dengan mahasiswa Fakultas Kehutanan UHO dan pemerintah desa setempat menginisiasi penanaman 5.000 bibit mangrove di pesisir Pantai Wawolasea, dekat kawasan wisata air panas.
Lokasi Wawolasea dipilih sebagai pusat rehabilitasi karena potensinya sebagai destinasi wisata alam. Keberadaan mangrove yang sehat diyakini akan meningkatkan daya tarik wisata air panas dan mendukung ekonomi lokal secara berkelanjutan.
Irawan Sigit Subekti dari Daaz Group menyatakan, inisiatif ini bukan hanya soal menanam, tapi juga menjaga keberlanjutan ekosistem.
“Menanam itu mudah, tapi menjaga pertumbuhannya yang harus dijadikan prioritas. Kami akan melakukan monitoring bulanan bersama UHO dan melibatkan warga lokal,” tegasnya.
Sekitar 10 warga setempat dilibatkan dalam pengawasan dan perawatan, di bawah supervisi dosen dan mahasiswa. Daaz Group juga berharap lahan ini bisa menjadi lokasi penelitian mahasiswa tingkat akhir UHO.
Butuh Perda Perlindungan Mangrove
Dosen Fakultas Kehutanan UHO, Dr. Safril Kasim, menambahkan bahwa kerusakan mangrove juga diperparah oleh ekspansi pemukiman dan infrastruktur pelabuhan, termasuk aktivitas pertambangan di wilayah pesisir.
Ia mendorong Pemerintah Kabupaten Konawe Utara dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara segera melahirkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perlindungan Mangrove.
“Perda ini harus menjadi dasar hukum untuk mengontrol aktivitas industri dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam rehabilitasi kawasan mangrove yang rusak,” ujarnya.
Menurutnya, Perda tersebut akan menjadi dasar tanggung jawab bagi perusahaan dalam merehabilitasi lahan sesuai titik koordinat yang terdampak.
“Kerusakan 1.000 hektare mangrove di Konawe Utara adalah sinyal darurat bagi seluruh pemangku kebijakan dan masyarakat. Rehabilitasi mangrove bukan hanya soal lingkungan, tapi juga menyangkut keberlanjutan ekonomi, mitigasi iklim, dan masa depan wilayah pesisir Sulawesi Tenggara,” imbuhnya. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post