KENDARI – Satu demi satu angka yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara (Sultra) mulai menguak sisi lain dari gegap gempita hilirisasi nikel.
Dalam rilis BPS 1 Oktober 2025, tampak jelas: ekspor Sultra pada Agustus 2025 hanya US$278,46 juta, anjlok 12,40 persen dibanding Agustus tahun lalu (US$317,87 juta).
Di atas kertas, angka itu hanyalah statistik. Tapi di baliknya, tersimpan cerita tentang provinsi yang tengah bergulat antara ambisi industrialisasi dan kenyataan ekonomi yang mulai melemah.
Dari Puncak Kejayaan ke Tren Penurunan
Beberapa tahun lalu, Sulawesi Tenggara dielu-elukan sebagai “jantung ekonomi nikel Indonesia”. Smelter-smelter baru tumbuh di Kolaka dan Konawe. Deretan kontainer besi baja meluncur menuju pelabuhan ekspor — terutama ke China.
Namun kini, grafik BPS mulai melandai.
Sejak awal tahun, ekspor terus merosot perlahan:
Januari: US$309,07 juta
Maret sempat naik ke US$324,50 juta
Tapi setelah Juni, tren berbalik tajam — hingga Agustus tinggal US$278,46 juta.
Di sisi lain, impor juga turun 17,56 persen, hanya US$101,94 juta.
Jika ditelisik lebih jauh, volume impornya bahkan jatuh 44,45 persen.
Artinya, mesin industri yang dulu bergemuruh kini tampak melambat — seolah denyut nadi smelter-smelter besar mulai melemah.
Surplus yang Menipu
Sekilas, Sultra masih terlihat kuat. BPS mencatat neraca perdagangan Agustus 2025 surplus US$176,52 juta.
Namun jika ditelisik, surplus ini bukan karena ekspor melonjak, melainkan karena impor bahan baku dan energi menurun tajam.
Dalam ekonomi, itu disebut “surplus semu” — surplus yang muncul bukan karena produktivitas, tapi karena roda industri berputar lebih lambat.
Seolah pabrik-pabrik masih berdiri megah, tapi aktivitas di dalamnya tidak seintens dulu.
Ketergantungan pada China: Satu Kaki di Jurang Risiko
Dari Januari hingga Agustus 2025, China masih menyerap 93,5 persen ekspor Sultra, senilai US$2,27 miliar.
Namun angka itu justru turun 0,64 persen dibanding tahun lalu.
Artinya, ketika ekonomi China melambat, Sultra pun ikut terseret. Keterikatan ini bukan sekadar hubungan dagang, tapi ketergantungan struktural: jika China batuk, ekonomi nikel Sultra bisa demam tinggi.
Ketika satu negara menjadi pasar tunggal bagi hampir seluruh komoditas utama, Sultra ibarat berdiri di atas satu kaki.
Dan kini, kaki itu mulai goyah.
Industri Pengolahan: Mendominasi Tapi Rapuh
Ironisnya, 99,64 persen ekspor Sultra berasal dari industri pengolahan logam — terutama besi dan baja hasil hilirisasi nikel.
Namun pada Agustus, sektor inilah yang mengalami penurunan paling tajam: minus 6,13 persen dibanding tahun lalu.
Kelesuan industri logam menciptakan efek domino, mulai dari penurunan tenaga kerja, turunnya kebutuhan bahan bakar industri (yang merosot 25,21 persen), hingga berkurangnya permintaan logistik dan transportasi.
Sultra yang dulu berdenyut karena smelter, kini mulai terengah.
Potret Tiga Tahun Neraca Dagang Sultra

Potret Tiga Tahun Neraca Dagang Sultra. Ist
Dari tabel di atas, tren penurunan jelas terlihat: ekspor menurun hampir US$1 miliar hanya dalam dua tahun terakhir.
Sementara surplus perdagangan juga terus menyusut, menandakan pelemahan fondasi ekspor.
Sinyal Bahaya: Hilirisasi Tanpa Diversifikasi
Hilirisasi nikel memang berhasil mengubah wajah ekonomi Sultra dalam waktu singkat. Tapi tanpa diversifikasi, keberhasilan itu bisa berbalik menjadi jebakan ekonomi tunggal.
Ketika harga nikel global turun atau permintaan Tiongkok melemah, tidak ada sektor lain yang siap menopang.
Sultra tak bisa selamanya hidup dari nikel dan baja. Sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata — yang kini hanya menyumbang 0,36 persen ekspor — seharusnya mulai digerakkan sebagai shock absorber ekonomi daerah.
Ketika Angka Bicara Jujur
Angka-angka BPS bukan sekadar deretan statistik; mereka adalah cermin dari denyut ekonomi Sulawesi Tenggara.
Dan cermin itu kini memantulkan bayangan yang muram: penurunan ekspor, kelesuan impor, dan ketergantungan yang berbahaya.
Pertanyaannya bukan lagi apakah ekonomi Sultra kuat, tapi berapa lama ia bisa bertahan dengan struktur seperti ini.
Jika tidak segera beradaptasi, “poros nikel dunia” bisa berubah menjadi poros ekonomi yang stagnan — megah di luar, rapuh di dalam. (Redaksi)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini


