KENDARI – Di berbagai daerah Indonesia, gelombang aksi rakyat meledak dengan wajah penuh amarah.
Jakarta, Makassar, Bandung, hingga Nusa Tenggara Barat diwarnai kericuhan, bahkan pembakaran gedung DPRD. Sementara itu, di Surabaya, Gedung Negara Grahadi—ikon penting Jawa Timur—ikut dilalap api akibat amukan massa.
Amarah yang seharusnya menjadi energi perubahan justru berubah menjadi kobaran destruktif yang meninggalkan luka sosial, ekonomi, sekaligus demokratis.
Namun, Sulawesi Tenggara (Sultra) tampil berbeda. Alhamdulillah, wajah pergerakan di Bumi Anoa masih terjaga dari anarkisme. Energi kemarahan rakyat tidak diarahkan untuk membakar gedung atau merusak fasilitas publik, tetapi menjadi gerakan damai yang bermartabat, menyuarakan keadilan dengan cara yang beradab.

Kapolda Sultra Irjen Pol Didik Agung Widjanarko turun langsung menemui ratusan pengemudi ojek online (ojol) di depan Mapolda Sultra, Minggu (31/8/2025), menuntut keadilan untuk Affan Kurniawan, rekan mereka yang tewas akibat insiden di Pejompongan, Jakarta. Humas
Aksi Ojol Kendari: Suara Keadilan Tanpa Kekerasan
Contoh nyata lahir di Kendari. Ratusan pengemudi ojek online (ojol) berkumpul di depan Mapolda Sultra, Minggu (31/8/2025), menuntut keadilan untuk Affan Kurniawan, rekan mereka yang tewas akibat insiden di Pejompongan, Jakarta.
Suasana sempat tegang, namun mencair saat Kapolda Sultra Irjen Pol Didik Agung Widjanarko turun langsung menemui massa. Ia duduk bersila bersama mereka di atas aspal, tanpa jarak, tanpa sekat.
Langkah humanis itu menjadi titik balik. Aspirasi tersampaikan dengan jelas, polisi berjanji menindaklanjuti, dan solidaritas tetap terjaga. Bahkan, massa bersama jajaran Polda Sultra menunaikan salat Magrib dan salat gaib untuk almarhum Affan.
Momentum itu menegaskan bahwa polisi dan rakyat bukan musuh, melainkan mitra menjaga kedamaian.
Mahasiswa Lintas Elemen: Dialog di Tengah Terik
Sehari sebelumnya, Sabtu (30/8/2025), mahasiswa lintas elemen juga menggelar aksi di Mapolda Sultra.
Kabid Humas Kombes Pol Iis Kristian bersama pejabat utama Polda menemui massa, duduk bersama di aspal meski di bawah terik matahari. Pesannya sederhana namun kuat: aspirasi boleh lantang, tetapi tetap damai, tertib, dan tidak anarkis.
“Unjuk rasa dengan aman, kami dari polisi juga melaksanakan pengamanan dengan aman,” tegas Kabid Humas. Ia menekankan bahwa aspirasi yang disampaikan dengan tertib adalah cermin kedewasaan berdemokrasi.
Gerakan Damai: Dari Kesadaran Individu ke Kolektif
Apa yang terjadi di Sultra bukan sekadar peristiwa lokal. Ia adalah contoh bahwa marah bisa diarahkan menjadi energi positif. Bahwa kader pergerakan, khususnya HMI dan elemen mahasiswa lainnya, punya fungsi nyata bila hadir di tengah rakyat: menerangi, bukan membakar.
Dari kesadaran individu lahir kesadaran kolektif. Dari amarah lahir gerakan bermartabat. Dari jalan damai lahir harapan baru.
Sultra, Teladan Nasional
Ketika Jakarta, Makassar, Bandung, Nusa Tenggara Barat, hingga Surabaya mencatat sejarah kelam akibat aksi anarkis dan pembakaran gedung DPR, Sultra justru menorehkan cerita berbeda. Tidak ada api yang melalap gedung, melainkan api solidaritas yang menghangatkan perjuangan rakyat.
Sultra hari ini mengirim pesan moral untuk seluruh Indonesia: menyampaikan aspirasi tidak harus dengan kekerasan. Demokrasi justru lebih kuat ketika rakyat dan aparat berdiri bersama, menjaga martabat perjuangan tanpa meninggalkan luka. (Red)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini