KONAWE SELATAN – Presiden Direktur PT Ifishdeco Tbk, Muhammad Ishaq, membantah tudingan bahwa smelter nikel milik anak usahanya, PT Bintang Smelter Indonesia (BSI), mangkrak.
Menurutnya, informasi tersebut tidak berdasar dan muncul karena ketidakpahaman terhadap situasi operasional di lapangan.
“Smelter kami memang saat ini tidak beroperasi, tapi bukan berarti mangkrak. Ini murni keputusan bisnis karena tekanan biaya operasional yang tinggi, terutama dari teknologi blast furnace yang tidak ekonomis,” tegas Ishaq, Jumat (18/7/2025).
Smelter Dibangun Demi Dukung Hilirisasi, Bukan Kejar Kuota Ekspor
BSI didirikan tahun 2013, dengan peletakan batu pertama pembangunan smelter dilakukan pada Agustus 2014 bekerja sama dengan kontraktor BUMN, PT PP (Persero) Tbk.
Ishaq menegaskan bahwa pembangunan smelter tersebut adalah bentuk komitmen terhadap program hilirisasi pemerintah, bukan untuk mengejar kuota ekspor nikel mentah (ore).
“Kebijakan relaksasi ekspor ore baru diterbitkan tahun 2017, sementara pembangunan smelter sudah dimulai jauh sebelumnya,” jelasnya.
Ishaq menjelaskan bahwa teknologi blast furnace yang digunakan BSI menimbulkan kerugian berkelanjutan karena ketergantungan terhadap bahan baku kokas impor dari China, yang biayanya terus meningkat dan menyumbang 40% dari total ongkos produksi. Total investasi pembangunan smelter ini mencapai sekitar Rp350 miliar.
“Bukan hanya kami, banyak perusahaan yang memakai teknologi serupa juga mengalami nasib serupa—mereka pun berhenti beroperasi,” tambah Ishaq.
Rencana Pembangunan Smelter RKEF Gagal akibat Pandemi
BSI sempat merancang pembangunan smelter baru dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang lebih efisien dan telah menjalin kerja sama dengan PLN untuk penyediaan gardu induk. Namun, proyek ini terhenti karena pandemi COVID-19 yang menghambat kedatangan tenaga ahli dari China.
“Kami prioritaskan keselamatan masyarakat. Tapi ironisnya, kini smelter RKEF pun mulai goyah karena tingginya biaya operasional,” kata Ishaq.
Adapun PT Ifishdeco Tbk yang berbasis di Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, telah beroperasi selama 17 tahun. Prestasi perusahaan termasuk penghargaan dari KPP Kendari sebagai penyetor pajak terbesar sektor pertambangan (2021), serta dua kali berturut-turut meraih Proper Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk periode 2022–2023 dan 2023–2024.
Industri Smelter Nikel Nasional Sedang Tertekan
Mengutip laporan BloombergTechnoz, industri smelter nikel di Indonesia—terutama yang berbasis RKEF—mengalami tekanan berat akibat turunnya permintaan baja nirkarat dari China dan meningkatnya biaya produksi. Beberapa smelter besar bahkan telah menghentikan produksi sementara sejak awal 2025.
Setidaknya empat perusahaan terpantau melakukan shutdown sebagian atau keseluruhan lini produksi, antara lain: PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI). (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post