AMBON – Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali menegaskan posisinya sebagai jangkar pertumbuhan ekonomi di Indonesia Timur. Hal ini tercermin dari capaian pertumbuhan ekonomi daerah tersebut yang mencapai 5,89 persen pada triwulan II tahun 2025, lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 5,12 persen (year-on-year).
Fakta ini disampaikan Sekretaris Daerah (Sekda) Sultra, Drs. H. Asrun Lio, M.Hum., Ph.D., yang hadir mewakili Gubernur Sultra, Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka, dalam Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Sulawesi, Maluku, Papua (Sulampua) Triwulan III 2025 bertema “Akselerasi Pembiayaan Inklusif untuk Memperkuat Ekonomi Sulampua” di Ballroom Santika Hotel, Ambon, Kamis (21/8/2025).

Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Sulawesi, Maluku, Papua (Sulampua) Triwulan III 2025 bertema “Akselerasi Pembiayaan Inklusif untuk Memperkuat Ekonomi Sulampua” di Ballroom Santika Hotel, Ambon, Kamis (21/8/2025). PPID
Sultra Jadi Penggerak Ekonomi Nasional
Dalam forum itu, Bank Indonesia menegaskan bahwa wilayah Sulampua secara konsisten menjadi growth driver ekonomi nasional, dengan lima provinsi di kawasan ini mencatat pertumbuhan di atas rata-rata nasional.
Sultra menempati posisi penting karena ditopang sektor pertambangan, perdagangan, konstruksi, hingga informasi dan komunikasi (infokom).
“Aspek inilah yang menempatkan Sultra sebagai jangkar utama pertumbuhan di Indonesia Timur,” ujar Asrun Lio.
Antara Pertumbuhan dan Inflasi
Meski pertumbuhan ekonomi mencatat tren positif, Sulampua juga menghadapi tantangan serius dalam pengendalian inflasi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Agustus 2025, seluruh 38 provinsi di Indonesia mengalami inflasi, termasuk Sultra.
Adapun lima provinsi dengan inflasi tahunan tertinggi justru berada di wilayah Sulampua, dengan Papua Selatan menempati posisi teratas. Sultra sendiri juga masuk daftar penyumbang inflasi, dipicu harga beras, cabai rawit, tomat, ikan layang, serta emas perhiasan.
Meski demikian, Bank Indonesia memproyeksikan inflasi Sulampua tahun 2025 masih akan terkendali pada kisaran 2,5 ± 1 persen, sehingga ruang pertumbuhan ekonomi tetap terbuka.
Strategi Pengendalian Inflasi
Forum Rakorwil menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis, di antaranya:
1. Percepatan distribusi beras SPHP melalui ritel modern, kios pangan, hingga Gerakan Pasar Murah (GPM).
2. Operasi pasar komoditas hortikultura seperti cabai rawit, bawang merah, dan tomat bekerja sama dengan petani unggulan di Sulsel dan Sultra.
3. Gerakan Tanam Barito (Bawang, Rica, Tomat) di pekarangan sekolah, lapas, hingga desa dengan mengaktifkan peran PKK.
4. Penguatan cold storage skala kecil melalui BUMD untuk menjaga stabilitas pasokan pangan.
5. Pemanfaatan teknologi D’Ozone guna memperpanjang masa simpan hasil pertanian hortikultura.
Sultra di Pusaran Hilirisasi dan Ketahanan Pangan
Posisi Sultra sebagai pusat hilirisasi nikel nasional sekaligus lumbung pangan regional menempatkannya dalam dilema strategis: di satu sisi pertumbuhan tinggi karena investasi tambang dan infrastruktur, di sisi lain fluktuasi harga pangan menjadi ancaman stabilitas.
Jika rekomendasi Rakorwil Sulampua dijalankan dengan konsisten—khususnya soal distribusi pangan dan pembiayaan inklusif—maka Sultra bukan hanya menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia Timur, tetapi juga model dalam menyeimbangkan hilirisasi industri dengan ketahanan pangan berkelanjutan.
Kehadiran Sultra dalam forum regional ini menegaskan bahwa masa depan perekonomian Indonesia Timur sangat bergantung pada kemampuan daerah mengelola sektor produktif dan mengendalikan inflasi.
Dengan capaian pertumbuhan yang tinggi, Sultra kini berada di garis depan, bukan sekadar sebagai pemain regional, tetapi juga sebagai penentu arah pertumbuhan ekonomi nasional di masa depan. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini