KENDARI – Di saat publik menaruh harapan besar pada hilirisasi nikel sebagai jalan menuju kemandirian industri dan nilai tambah nasional, perusahaan penanaman modal asing PT Vale Indonesia Tbk justru menyodorkan sebuah ironi.
Pasalnya, di tengah gegap gempita proyek hilirisasi senilai Rp146,52 triliun, Vale ternyata tetap menjual ore nikel mentah dari Blok Pomalaa ke smelter lokal.
Padahal, tiga proyek hilirisasi strategis nasional – IGP Pomalaa, IGP Morowali, dan HPAL Sorowako – telah diumumkan sebagai bukti keseriusan Vale dan MIND ID dalam mendukung agenda hilirisasi pemerintah. Nilainya tidak main-main, US$ 8,5 miliar atau setara Rp146,52 triliun.
“Sebagai pemegang saham mayoritas PT Vale Indonesia, MIND ID mendorong inisiatif untuk menggenjot kapasitas produksi produk hilirisasi nikel,” kata Direktur Utama MIND ID, Maroef Sjamsoeddin, 29 April 2025 lalu.
Ia menyebut proyek-proyek ini akan meningkatkan kapasitas produksi Vale sebesar 240 ribu ton nikel per tahun dalam bentuk MHP (Mixed Hydroxide Precipitate). Bahkan, proyek IGP Pomalaa di Kolaka termasuk yang dicanangkan selesai lebih awal, antara tahun 2026 hingga 2027.
Namun realitas di lapangan tidak seindah narasi investasi itu. PT Vale di Blok Pomalaa tetap menjual ore mentah ke smelter lokal, sebagaimana dikonfirmasi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara, Andi Azis. Aktivitas ini dilakukan berdasarkan perubahan RKAB tahun 2024–2025 yang telah disetujui oleh Kementerian ESDM.
“Pengiriman ore nikel Vale telah sesuai dengan Persetujuan Perubahan RKAB Nomor T-2350/MB.04/DJB.M/2024 tertanggal 20 Desember 2024,” kata Kepala ESDM Sultra, Andi Azis, Senin (21/7/2025) .
Vale memperoleh kuota penjualan sebesar 200 ribu metrik ton ore nikel. Meskipun sah secara regulasi, langkah ini justru memicu pertanyaan: Mengapa perusahaan raksasa yang menggarap hilirisasi besar-besaran, justru masih menjual bahan mentah?
Patuh Regulasi dan Komitmen ESG
Di sisi lain, Head of Corporate Communication PT Vale Indonesia, Vanda Kusumaningrum, menegaskan bahwa seluruh kegiatan operasional perusahaan, termasuk penjualan ore nikel dari Blok Pomalaa ke smelter lokal, telah dilakukan secara sah dan sesuai regulasi.
“Sebagai pemegang IUPK dan perusahaan penanaman modal asing, PT Vale mematuhi sepenuhnya peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kami menghormati prinsip demokrasi dan selalu terbuka terhadap dialog konstruktif,” jelas Vanda.
Ia juga menekankan bahwa PT Vale tidak hanya fokus pada aspek produksi, tetapi juga berkomitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial. Perusahaan secara aktif menjalankan program reklamasi tambang, pelestarian keanekaragaman hayati, serta pengembangan komunitas lokal di sekitar wilayah operasinya.
“PT Vale Indonesia diakui secara global dalam penerapan prinsip Environment, Social, and Governance (ESG). Kami ingin memimpin transformasi industri tambang Indonesia menuju pertambangan yang etis dan dekarbonisasi industri,” pungkasnya.
Namun, publik tetap dibuat bertanya-tanya: Apakah menjual bijih mentah masih dapat dikategorikan sebagai praktik pertambangan berkelanjutan di tengah semangat hilirisasi nasional, apalagi ini dilakukan oleh perusahaan penanaman modal asing?
Di satu sisi, Vale dan MIND ID menampilkan citra sebagai pionir hilirisasi dan motor dekarbonisasi industri. Di sisi lain, perusahaan yang sama tetap beroperasi dengan pola lama dengan menjual ore mentah dari sumber daya alam Indonesia ke smelter lokal yang bukan miliknya.
Inilah paradoks hilirisasi di Indonesia: Investasi triliunan rupiah untuk nilai tambah, tapi bisnis ore mentah masih jalan terus. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post