LADONGI – Ketika Indonesia terus berbicara soal ketahanan dan kedaulatan pangan, satu daerah di Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa kedaulatan bukan hanya wacana—tapi sedang dijalankan. Adalah Kolaka Timur, tepatnya di Kecamatan Ladongi, yang kini mulai menjadi barometer baru dalam peta kemandirian pangan nasional.
Panen Raya Padi yang digelar Selasa, 15 April 2025, di Ladongi, menjadi lebih dari sekadar seremoni tahunan. Kegiatan yang dihadiri oleh Bupati Kolaka Timur, Abd Azis, SH., MH., bersama jajaran Forkopimda, OPD, tokoh masyarakat dan ratusan petani ini mencerminkan sebuah babak baru: transisi dari pertanian tradisional menuju sistem agrikultur modern dan terintegrasi.
Kenapa ini penting? Karena Kolaka Timur menunjukkan dua indikator utama keberhasilan pangan: peningkatan luas tanam dan peningkatan indeks pertanaman (IP). Dalam satu tahun, luas lahan pertanian meningkat dari 19.000 hektare menjadi 21.000 hektare, ditambah program cetak sawah baru seluas 2.400 hektare dari pemerintah pusat.
Targetnya jelas: menaikkan IP dari 200 ke 250—artinya petani bisa menanam hingga 2,5 kali dalam setahun. Ini bukan ambisi kosong, tetapi strategi yang sedang digarap secara serius.
Keberhasilan Ladongi tidak muncul dari langit. Ini lahir dari gaya kepemimpinan partisipatif yang diterapkan oleh Bupati Abd Azis. Ia tidak hanya duduk di balik meja birokrasi, tapi turun langsung ke sawah, menyatu dengan petani, menyapa mereka sebagai rekan seperjuangan, bukan objek kebijakan.
Ia membuka ruang partisipasi masyarakat secara terbuka, bahkan mengizinkan warganya datang ke rumah jabatan tanpa protokoler—hanya untuk menyampaikan aspirasi. Dalam konteks pembangunan pangan, model ini sangat relevan. Karena kedaulatan pangan bukan hanya soal hasil panen, tapi tentang bagaimana rakyat dilibatkan secara aktif dalam prosesnya.
Menggeser Paradigma: Dari Ketahanan Menuju Kedaulatan
Kita sering keliru mengartikan ketahanan pangan sebagai sekadar tersedianya bahan pangan. Padahal, kedaulatan pangan berbicara lebih jauh: soal kendali, keberlanjutan, dan keberpihakan terhadap petani lokal.
Ladongi sedang bergerak menuju arah itu. Di sini, petani bukan hanya pekerja lapangan, tapi menjadi subjek utama pembangunan. Pemerintah daerah hadir sebagai fasilitator, bukan dominator. Kolaborasi lintas sektor pun dibangun: dari Kementerian Pertanian, Balai Wilayah Sungai, hingga OPD teknis lainnya.
Tentu, masih ada tantangan besar yang dihadapi. Ketersediaan air irigasi, keterbatasan alat dan mesin pertanian, hingga peningkatan kapasitas SDM menjadi pekerjaan rumah bersama. Namun, semangat kolaboratif dan arah pembangunan yang jelas menjadi bekal utama Kolaka Timur dalam mengatasi kendala ini.
Justru dari sinilah pengukuran sesungguhnya sebuah kedaulatan pangan diuji—bukan dari tidak adanya tantangan, tetapi dari sejauh mana sistem bisa bertahan dan beradaptasi menghadapi perubahan.
Ladongi Bisa Jadi Model Nasional
Apa yang terjadi di Ladongi hari itu bisa menjadi model replikasi di daerah lain di Indonesia. Apalagi jika pemerintah pusat mulai menjadikan pendekatan Ladongi sebagai best practice dalam kebijakan pembangunan pangan nasional.
Dengan pendekatan berbasis data, berbasis rakyat, dan berbasis kepemimpinan visioner, Kolaka Timur telah memperlihatkan bahwa kedaulatan pangan bukan hanya mungkin, tapi bisa dimulai dari desa-desa, dari sawah-sawah yang dikelola sepenuh hati.
Kedaulatan pangan tidak dibangun di ruang rapat, melainkan di tengah lumpur sawah, di tengah peluh petani, dan dalam ketulusan seorang pemimpin yang tak malu mengatakan: “Saya anak petani, maka saya paham.”
Dan dari Ladongi, harapan itu kini tumbuh subur. (Tim)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post