JAKARTA – Indonesia sedang menghadapi darurat perceraian. Data dari Mahkamah Agung (MA) menunjukkan angka perceraian yang masih sangat tinggi di seluruh wilayah Tanah Air.
Dua faktor utama yang mendorong tren ini adalah tekanan ekonomi yang kian mencekik dan konflik berkepanjangan dalam rumah tangga.
“Penyebab terbanyak perceraian adalah perselisihan dan faktor ekonomi. Ini terjadi baik di pengadilan negeri maupun pengadilan agama,” tegas Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Subandi, Rabu (23/4/2025).
Angka yang terus melonjak ini menjadi peringatan serius bagi stabilitas sosial dan masa depan keluarga Indonesia. Subandi menyebut bahwa tanpa intervensi konkret, perceraian bisa menjadi ‘epidemi’ sosial yang merusak fondasi keluarga.
Menanggapi kondisi ini, Menteri Agama Nasarudin Umar mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu poin penting yang diusulkan adalah penambahan bab khusus tentang pelestarian perkawinan.
Langkah ini didukung penuh oleh MA. “Kami mendukung upaya Kementerian Agama untuk menekan angka perceraian melalui revisi undang-undang dan pendekatan preventif,” kata Subandi.
Salah satu solusi konkret yang terus didorong adalah penguatan peran Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Lembaga ini memegang peran kunci dalam melakukan mediasi praperadilan untuk pasangan yang terancam bercerai.
“BP4 harus diberdayakan lebih maksimal, termasuk pemberian kursus pra-nikah dan pendampingan psikologis,” ujar Subandi.
Ia menekankan bahwa intervensi dini jauh lebih efektif dibanding penyelesaian lewat pengadilan.
Data menunjukkan efektivitas mediasi BP4 sangat signifikan, terutama di pengadilan agama yang mencatat tingkat keberhasilan mediasi sebesar 47,06 persen, dibanding hanya 4,08 persen di pengadilan umum.
“Ini bukti bahwa perceraian bisa dicegah. Banyak pasangan akhirnya memilih berdamai dan melanjutkan kehidupan rumah tangga setelah mediasi,” tegas Subandi. (MS Network)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post