JAKARTA – Pemerintah Indonesia dinilai gagal melindungi Raja Ampat dari aktivitas industri ekstraktif tambang nikel.
Pasalnya, Raja Ampat yang dikenal sebagai surga laut dunia dengan keindahan alam dan kekayaan hayati bawah lautnya, kini menghadapi ancaman besar dari aktivitas tambang nikel.
Sejak izin diberikan pada 2017, kawasan konservasi ini terus tergerus demi kepentingan ekonomi ekstraktif yang dinilai melanggar hukum dan merusak lingkungan.
Kegiatan pertambangan di Pulau Gag, bagian dari Kepulauan Raja Ampat, mendapat sorotan tajam dari masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis lingkungan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, aktivitas tambang dilarang di pulau kecil—yakni pulau dengan luas kurang dari 2.000 km². Luas Pulau Gag sendiri hanya sekitar 77,27 km², sehingga tergolong sebagai pulau kecil dan tidak boleh dijadikan lokasi pertambangan.
Ketua PB HMI Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan, Rifyan Ridwan Saleh, menegaskan bahwa izin tambang di Raja Ampat tidak hanya melanggar undang-undang, tapi juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melarang pertambangan di pulau kecil.
“Pasal 23 ayat 2 UU No. 1/2014 menyatakan bahwa pulau kecil diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan, riset, perikanan berkelanjutan, pariwisata bahari, dan pertahanan. Bukan untuk tambang,” tegas Rifyan, Senin (9/6).
Ia juga menyebut bahwa tambang di Pulau Gag telah melanggar Pasal 33 ayat 4 UUD 1945, yang menekankan bahwa pembangunan ekonomi nasional harus berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.
Rifyan mendorong agar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia segera mencabut izin secara permanen, bukan hanya sementara. Ia juga menyinggung potensi praktik korupsi dalam penerbitan izin:
“Jika aturan dan putusan hukum sudah tegas melarang, namun izin tetap diterbitkan, maka wajar bila publik menduga adanya kongkalikong antara pejabat pemberi izin dan perusahaan tambang,” tambahnya.
Kritik Meluas Terhadap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terus menuai kritik karena dianggap hanya memberikan reaksi politis tanpa solusi jangka panjang. Pernyataannya yang menyebut kritik terhadap tambang di Raja Ampat sebagai bentuk “campur tangan asing” dinilai sebagai bentuk pengalihan isu.
“Pernyataan itu mencederai semangat masyarakat lokal dan aktivis yang selama ini memperjuangkan perlindungan Raja Ampat,” kata M. Muham Tashir, Ketua PB PMII Bidang OKP, LSM, dan Kemahasiswaan.
Meski demikian, Kementerian ESDM mengklaim bahwa aktivitas tambang nikel telah diawasi secara ketat.
Pada 7 Juni 2025, Menteri Bahlil melakukan kunjungan langsung ke Pulau Gag untuk meninjau operasional PT Gag Nikel dan berdialog dengan warga setempat.
Beberapa nelayan menyatakan bahwa air laut masih jernih dan aktivitas penangkapan ikan berjalan normal.
“Air laut tetap bersih dan ikan-ikan karang masih aman dikonsumsi,” kata Fathah Abanovo, nelayan setempat.
Lukman Harun, warga lainnya, menolak narasi kerusakan lingkungan yang menurutnya dilebih-lebihkan.
Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu dan Bupati Raja Ampat Orideko Iriano Burdam menyatakan dukungan terhadap kelanjutan tambang nikel demi kesejahteraan masyarakat, dengan catatan pengawasan lingkungan harus diperkuat.
“Kesejahteraan masyarakat penting, tapi harus seimbang dengan perlindungan lingkungan,” kata Gubernur Elisa. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post