KENDARI – Di tengah refleksi 25 tahun perjalanan otonomi daerah, nama Ryaas Rasyid tetap menjadi sosok sentral yang tak bisa dilepaskan dari cerita besar desentralisasi di Indonesia. Bagi Ryaas, otonomi bukan sekadar pergeseran urusan administrasi atau anggaran. Namun Otonomi Daerah adalah upaya monumental untuk memulihkan hak rakyat dalam mengatur dirinya sendiri dan membangun masa depannya.
Dalam pandangan Ryaas, otonomi daerah dirancang untuk membebaskan daerah, bukan memisahkannya dari negara. Ia membayangkan sebuah Indonesia di mana pemerintah pusat berfokus pada visi besar — diplomasi internasional, pertahanan nasional, pengelolaan sumber daya strategis — sementara daerah diberi ruang luas untuk berinovasi, mengelola potensi, dan memperkuat fondasi bangsa dari bawah.
“Pemerintah pusat tidak perlu mengurusi hal-hal kecil yang bisa diselesaikan oleh bupati dan wali kota,” tegasnya dalam berbagai kesempatan.
Bagi Ryaas, membiarkan daerah hidup dalam ketergantungan fiskal dan struktural hanya akan melahirkan pemimpin lokal yang pasif dan kehilangan daya inovasi. Ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998, yang menuntut pembaharuan sistemik termasuk dalam relasi pusat-daerah.
Sebagai referensi, Prof. H. M. Ryaas Rasyid, M.A., Ph.D., yang lahir pada 17 Desember 1949 adalah akademisi guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Ia pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada 25 Januari 2010. Sebelumnya ia menjabat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Persatuan Nasional dan anggota DPR–RI F–BPD periode 2004–2009. Ia meraih gelar doktor dari Universitas Hawaii, Amerika Serikat, pada tahun 1994. Setahun setelahnya ia diangkat menjadi Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) sampai tahun 1998.
Perjalanan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejarah panjang desentralisasi di Indonesia mencatat beberapa tonggak penting:
- Pada masa kolonial, gagasan desentralisasi pertama kali diperkenalkan lewat Decentralisatie Wet 1903, yang membuka ruang terbatas bagi pembentukan dewan-dewan daerah.
- Setelah kemerdekaan, perdebatan sengit terjadi antara konsep negara kesatuan dan negara federal. Akhirnya, UUD 1945 menegaskan bentuk negara kesatuan, tetapi tetap mengakui hak daerah untuk mengatur urusannya sendiri.
- Pada era Orde Lama, Presiden Soekarno menegaskan dalam pidatonya tahun 1960 bahwa kuasa di daerah ada di tangan kepala daerah, bukan sekadar perpanjangan tangan pusat.
- Namun, pada masa Orde Baru, otonomi daerah nyaris mati suri. Sentralisasi kekuasaan begitu dominan, dan daerah hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat.
- Reformasi 1998 menjadi momentum perubahan besar. Pada tahun 1999, lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan, yang menjadi tonggak awal otonomi daerah era baru. Ryaas Rasyid menjadi aktor utama di balik perumusan kedua undang-undang tersebut.
- Otonomi daerah yang diterapkan mulai 1 Januari 2001 memberi kewenangan luas kepada kabupaten dan kota, memotong jalur birokrasi panjang, dan mempercepat pelayanan publik.
Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Revisi regulasi seperti UU No. 23/2014 mulai menarik kembali sejumlah kewenangan strategis ke pusat, terutama di sektor kehutanan, energi, dan kelautan. Ditambah lagi dengan Inpres No. 1/2025 yang dinilai berpotensi menggerus ruang gerak daerah. Kritik keras datang dari banyak kalangan.
Bagi Ryaas Rasyid, otonomi daerah bukan hanya instrumen administratif, melainkan jantung demokrasi dan kemakmuran bangsa. Tanpa daerah yang kuat, bangsa ini akan rapuh. Tanpa rakyat daerah yang sejahtera, nasionalisme hanya menjadi slogan kosong.
Pelajaran dari negara lain pun memperkuat pandangannya. China, lewat konsep Mayor Base Economy, membuktikan bagaimana kekuatan lokal bisa menjadi pendorong pertumbuhan nasional. Indonesia, dengan keanekaragaman dan kekayaan sumber daya daerahnya, bahkan memiliki peluang yang jauh lebih besar — asalkan berani mempercayai rakyat di daerah.
Di tengah tantangan global, kompleksitas birokrasi, dan ancaman ketimpangan pembangunan, semangat Ryaas Rasyid tetap relevan dan mendesak: Membangun Indonesia dari kekuatan lokal, mempercayai rakyat, dan memperkuat otonomi daerah sebagai fondasi kedaulatan nasional.
Kini, tugas generasi sekarang adalah menjaga semangat itu tetap menyala. Bukan dengan sekadar memperingatinya dalam seremoni tahunan, melainkan dengan membangun kesadaran kolektif. Tanpa daerah yang berdaya, tidak akan ada Indonesia yang berjaya. (Red)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post