KENDARI – Gelombang desakan agar PT Gema Kreasi Perdana (PT GKP) menghentikan aktivitas pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), Sulawesi Tenggara (Sultra), semakin kuat. Anak usaha Harita Group ini kembali menjadi sorotan tajam publik, setelah dinilai membangkang terhadap sejumlah putusan hukum yang sudah berkekuatan tetap.
Meski Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah memutuskan agar PT GKP menghentikan operasinya dan angkat kaki dari Pulau Wawonii, perusahaan tambang nikel ini tetap ngotot melanjutkan eksploitasi. Tindakan PT GKP dianggap sebagai bentuk pembangkangan korporasi terhadap hukum dan negara.
Ketua Lingkar Kajian Kehutanan (Link) Sultra, Adriansyah Husen, menyatakan, hingga saat ini belum ada satu pun instrumen negara yang mampu menegakkan keadilan dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Wawonii.
“Aktivitas tambang PT GKP adalah bentuk pelanggaran hukum terang-terangan. Bukan hanya melawan keputusan hukum, perusahaan ini juga telah mengkriminalisasi masyarakat yang menolak tambang,” tegas Adriansyah, Selasa (6/5/2025).
Menurutnya, keberadaan tambang PT GKP dan PT Bumi Konawe Mining (PT BKM) — anak perusahaan lain milik Harita Group — hanya memicu perpecahan sosial, baik konflik vertikal dengan pemerintah maupun konflik horizontal antarwarga.
“Pulau Wawonii dulu damai. Sekarang warga terpecah, saling serang, dan terjebak diskriminasi. Semua ini akibat ulah tambang nikel Harita Group,” lanjutnya.
Skenario Lama
Adriansyah mengungkapkan, Harita Group kini menggunakan skenario lama: ganti kulit perusahaan. Setelah PT GKP diterpa citra buruk, kini muncul PT BKM di lokasi yang berdekatan, dengan persetujuan produksi sebesar 1,3 juta ton untuk tahun 2025 dari Kementerian ESDM.
“Ini modus lama — seperti ular ganti kulit. Harita Group mau terus eksploitasi nikel dengan cara apapun,” tegas Adriansyah.
Lebih parah, lanjutnya, baik PT GKP maupun PT BKM hanya bermodalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan jaringan orang dalam. Keduanya belum mengantongi dokumen wajib seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Tanpa Amdal dan PPKH, mereka tidak punya legalitas lingkungan. Harusnya PT GKP dan PT BKM sudah hengkang dari Pulau Wawonii,” tegasnya.
PT GKP Setor Rp116 Miliar — Apakah Sebanding?
Sementara itu, PT GKP mengklaim telah menyetor pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp116 miliar sejak 2007.
General Manager Government Relations & Permitting PT GKP, Bambang Murtiyoso, menyebut kontribusi itu sebagai bukti komitmen perusahaan dalam mendukung pembangunan.
Menurutnya, PT GKP tidak hanya memberi kontribusi dalam menggerakkan roda ekonomi, namun juga secara konsisten menunjukkan komitmen dalam tata kelola lingkungan, pemberdayaan masyarakat, serta kepatuhan terhadap regulasi nasional.
“Kami berusaha agar kehadiran kami membawa nilai tambah yang berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, khususnya di Pulau Wawonii. Kami percaya kemajuan industri harus berjalan seiring dengan kemajuan masyarakat,” kata Bambang Murtiyoso melalui keterangan resmi, Senin (28/4/2025).
Namun di balik angka tersebut, masyarakat mempertanyakan: Apakah kontribusi ekonomi sebanding dengan kerusakan sosial, lingkungan, dan ketidakadilan hukum yang terjadi?
Estimasi Pendapatan Berdasarkan Setoran Pajak
Berdasarkan laporan setoran pajak sebesar Rp116 miliar yang telah dibayarkan perusahaan, estimasi atas laba kena pajak dan pendapatan bruto dapat dihitung sebagai berikut. Dengan tarif Pajak Penghasilan Badan sebesar 22 persen, laba kena pajak diperkirakan sebesar Rp527 miliar.
Dengan asumsi margin laba bersih sebesar 10 persen, estimasi total pendapatan bruto (revenue) perusahaan dalam periode fiskal terkait adalah sebesar Rp5,27 triliun. Estimasi ini memberikan gambaran umum mengenai skala aktivitas bisnis perusahaan.
Harap dicatat bahwa estimasi ini bersifat indikatif dan bergantung pada asumsi tarif pajak serta margin laba bersih yang digunakan. Perubahan pada variabel-variabel tersebut dapat memengaruhi proyeksi pendapatan yang dihasilkan.
Adapun estimasi ini ditujukan untuk tujuan analisis awal dan tidak merepresentasikan angka final dalam laporan keuangan auditan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Konkep Safiuddin Alibas menjelaskan, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) selama dua tahun terakhir, sektor pertambangan memberi kontribusi besar terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah tersebut.
Pada 2022 sektor ini menyumbang sekitar Rp185,21 miliar dan pada 2023 tercatat meningkat mencapai Rp192,60 miliar. Lebih lanjut, sektor pertambangan bahkan menjadi salah 1 dari 3 kekuatan utama penopang perekonomian di Kabupaten Konkep, berdampingan dengan sektor pertanian dan pembelanjaan pemerintah.
“Masuknya tambang terbukti memberikan dampak ekonomi yang cukup besar, masyarakat jadi memiliki daya beli dan konsumsi yang lebih besar,” papar Safiuddin Alibas.
Melihat perkembangan sektor pertambangan, dia pun menilai jika kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten, dalam mengelola dan menjaga pembangunan melalui ruang investasi.
“Prinsip pemerintah itu harus terbuka dengan investasi, harus selalu menyiapkan diri. Kami harus bisa memastikan adanya alokasi sumber daya, distribusi berjalan dengan baik, dan stabilitas ekonomi. Maka, sudah menjadi tugas pemerintah pula untuk mengatur regulasi, di mana salah satunya adalah mendorong investasi bisa berjalan dengan aman dan nyaman,” ujar dia.
Presiden Diminta Bertindak
Adriansyah menegaskan, masyarakat Sultra, khususnya warga Pulau Wawonii, akan terus bergerak hingga ke pusat pemerintahan.
“Kami mendesak Presiden RI Prabowo Subianto turun tangan. Sudah saatnya PT GKP dan PT BKM angkat kaki dari Pulau Wawonii,” tutupnya. (MS Network)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post