JAKARTA – Dana Bagi Hasil (DBH) kembali jadi sorotan tajam dalam rapat kerja Komisi II DPR RI bersama 13 gubernur dari berbagai daerah penghasil sumber daya alam (SDA) pada Rabu (30/4/2025). Para kepala daerah mengungkap ketimpangan kebijakan fiskal pusat yang dinilai merugikan daerah mereka, meski menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap minimnya DBH yang diterima daerahnya meski menjadi pusat pertambangan nikel nasional. Ia menilai kebijakan fiskal sangat tidak adil.
“Negeri kami hancur-hancuran, Pak. Tambang di mana-mana, tapi kami hanya dapat Rp200 miliar per tahun dari DBH. Padahal Presiden menyebut, pajak industri smelter mencapai Rp570 triliun,” tegas Anwar di hadapan Komisi II DPR RI.
Ia juga menyoroti sistem perpajakan yang lebih menguntungkan wilayah hilir dan kebijakan tax holiday yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial di daerah tambang.
“Setelah 10 tahun, nikel habis, daerah ditinggal. Mereka ambil untung, kita cuma dapat puing-puing,” tegasnya lagi.
Pernyataan senada disampaikan Gubernur Sulawesi Tenggara, Andi Sumangerukka, yang juga hadir dalam rapat. Ia menegaskan bahwa daerahnya, sebagai salah satu penghasil nikel terbesar, tidak menikmati hasil yang sebanding dari aktivitas pertambangan.
“Sultra menghasilkan miliaran dolar dari nikel setiap tahun, tapi PAD kami tidak mencerminkan kontribusi itu. Kita produksi, mereka yang menikmati,” kata Andi.
Ia menekankan bahwa sistem DBH saat ini harus dirombak, agar mencerminkan keadilan fiskal berbasis kontribusi daerah.
“Kalau DBH tidak adil, maka desentralisasi hanya jadi slogan kosong,” ujarnya.
Andi juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa tanpa reformasi fiskal, daerah akan terus tertinggal dalam pembangunan meskipun menjadi lumbung kekayaan nasional.
Gubernur Riau Abdul Wahid mengungkap potensi defisit lebih dari Rp3 triliun akibat anjloknya pendapatan dari sektor migas. Ia menyebut DBH sawit yang diterima Riau justru kalah dari provinsi lain yang produksinya jauh lebih kecil.
“Produksi kami paling besar, tapi DBH malah turun. Ini tidak logis,” kata Wahid.
Ia juga mengkritisi sistem alokasi anggaran yang terlalu kaku, serta lambatnya realisasi transfer pusat ke daerah.
Apa Itu Dana Bagi Hasil (DBH)? Ini Penjelasan Lengkapnya
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH seringkali dikaitkan sebagai dana yang menyangkut ‘hajat hidup’ daerah sebab digunakan mendanai kebutuhan daerah.
Hal ini sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diubah dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah secara umum.
Dikutip dari laman Kemenkeu, DBH bertujuan menyeimbangkan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah yang dalam pelaksanaanya sekaligus untuk mengurangi ketimpangan antara daerah penghasil dan daerah bukan penghasil sumber daya alam.
Prinsip penyaluran DBH dilakukan by origin, yaitu daerah penghasil memperoleh porsi yang lebih besar dibandingkan dengan daerah-daerah bukan penghasil. Selain itu, penyaluran DBH dilakukan berdasarkan prinsip Based on Actual Revenue. Artinya, penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan (Pasal 23 UU 33/2004).
DBH dibagi menjadi dua jenis, yaitu DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam. Berikut adalah rinciannya:
DBH Pajak
– DBH Pajak Bumi dan Bangunan (DBH PBB)
– DBH Pajak Penghasilan (DBH-PPh)
– DBH Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT)
DBH Sumber Daya Alam
– DBH Kehutanan
– DBH Mineral dan Batu Bara
– DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi
– DBH Pengusahaan Panas Bumi
– DBH Perikanan
DBH PBB dan PPh dibagi kepada daerah penghasil sesuai dengan porsi yang ditetapkan dalam UU No. 33/2004. DBH CHT dan DBH SDA dibagi dengan imbangan daerah penghasil mendapatkan porsi lebih besar. Adapaun daerah lain (dalam provinsi yang bersangkutan) mendapatkan bagian pemerataan dengan porsi tertentu yang ditetapkan dalam UU.
Namun, kenyataannya prinsip keadilan belum berjalan. Banyak daerah penghasil justru hanya menerima bagian kecil dari total pendapatan yang mereka hasilkan.
Evaluasi Transfer Dana Daerah
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa pihaknya akan mendorong reformasi formula dana transfer agar lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan daerah.
“Kami menyadari lebih dari 70% daerah tergantung pada dana APBN. Karena itu, kita harus memastikan distribusi dana yang adil dan tepat sasaran,” ujarnya.
Komisi II juga membuka ruang revisi regulasi yang menghambat fleksibilitas daerah, termasuk dalam pengelolaan BUMD dan manajemen kepegawaian.
Sorotan dari Gubernur Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Riau menggambarkan ketimpangan serius dalam sistem desentralisasi fiskal Indonesia. Tanpa perombakan formula DBH, daerah penghasil akan terus mengalami kerusakan lingkungan dan tekanan fiskal, tanpa mendapat timbal balik yang adil dari pusat. (MS Network)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini
Discussion about this post