KENDARI – Di ujung tenggara jazirah Sulawesi, terhampar gugusan pulau-pulau kecil yang membentuk kawasan yang dikenal sebagai Wakatobi, sebuah kepingan surga laut yang tersisa di tengah gempuran industrialisasi.
Kawasan ini bukan hanya ikon pariwisata bahari Indonesia, tetapi juga merupakan benteng terakhir keanekaragaman hayati (biodiversity) laut di Sulawesi Tenggara (Sultra), wilayah yang kini sebagian besar telah terpapar dampak industri ekstraktif nikel yang agresif dan massif.
Wakatobi merupakan bagian dari segitiga terumbu karang dunia (Coral Triangle), sebuah kawasan dengan konsentrasi keanekaragaman hayati laut tertinggi di bumi. Lebih dari 750 spesies karang dari total 850 spesies dunia ditemukan di perairan ini. Tak kurang dari 942 spesies ikan karang, mamalia laut seperti lumba-lumba, paus, hingga penyu hijau yang dilindungi, menjadikan kawasan ini sebagai laboratorium alam hidup yang penting, bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi masa depan ekosistem laut global.
Dalam status konservasinya, Wakatobi telah diakui sebagai Taman Nasional sejak tahun 1996, dengan luas mencapai 1,39 juta hektare. Pada 2012, UNESCO mengukuhkannya sebagai Cagar Biosfer, menandakan pentingnya kawasan ini dalam menjaga keseimbangan antara keanekaragaman hayati, budaya lokal, dan pembangunan berkelanjutan.
Namun kini, status kehormatan itu terancam. Meski Wakatobi sendiri belum menjadi lokasi tambang, gelombang ekspansi industri nikel yang menyapu hampir seluruh daratan Sulawesi Tenggara menjadi ancaman nyata bagi keseimbangan ekologis kawasan ini.
Ledakan Tambang Nikel dan Degradasi Lingkungan Sultra
Sejak lonjakan permintaan global terhadap logam nikel untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik, Sulawesi Tenggara menjadi primadona baru industri pertambangan. Kabupaten seperti Konawe, Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Kolaka, Kolaka Utara, Morowali (di Sulawesi Tengah namun beririsan aktivitas industri), hingga Bombana, berubah menjadi medan eksploitasi besar-besaran. Bukit-bukit dikupas, hutan-hutan dibabat, sungai-sungai tercemar lumpur, dan kawasan pesisir tercemar limbah tambang.
Data WALHI dan JATAM menunjukkan bahwa lebih dari 30% wilayah darat Sulawesi Tenggara telah dikapling oleh izin usaha pertambangan (IUP). Sebagian besar di antaranya berada di kawasan hulu sungai dan pesisir, yang menyebabkan sedimentasi tinggi, rusaknya terumbu karang, dan merosotnya kualitas air laut yang bermuara ke perairan sekitarnya, termasuk yang secara ekologis terkoneksi ke Laut Banda, tempat Wakatobi berada.
Walaupun tidak terdapat tambang nikel di Wakatobi, wilayah ini bukanlah entitas ekologis yang terisolasi. Arus laut membawa limbah dan sedimen dari daratan utama Sultra ke ekosistem laut terbuka. Peningkatan kekeruhan air laut, naiknya suhu perairan akibat perubahan tata guna lahan, hingga turunnya populasi ikan secara drastis di beberapa titik perairan Sultra telah mulai dirasakan dampaknya hingga ke Wakatobi.
Masyarakat nelayan tradisional Wakatobi, yang selama ini menggantungkan hidup pada laut yang bersih dan lestari, mulai mengeluhkan penurunan hasil tangkapan. Di sisi lain, upaya perlindungan laut melalui zona konservasi menghadapi tekanan akibat perubahan ekonomi regional yang dipicu oleh investasi besar-besaran di sektor pertambangan.
Pertarungan Masa Depan: Ekonomi Versus Ekologi
Pemerintah pusat maupun daerah berdalih bahwa investasi tambang nikel adalah jalan menuju transformasi energi bersih dan ekonomi hijau. Namun ironisnya, eksploitasi besar-besaran terhadap alam Sultra justru mengancam cadangan ekologi paling vital di kawasan ini: Wakatobi.
Alih-alih menjadi penyangga peradaban hijau, tambang nikel di Sultra justru menciptakan jebakan ekologis baru. Tanpa pengelolaan yang adil, transparan, dan berbasis ilmu pengetahuan, kekayaan nikel hanya menjadi simbol pembangunan semu yang mengorbankan warisan hayati yang tak ternilai harganya.
Di tengah ancaman tersebut, Wakatobi tetap menjadi simbol perlawanan terhadap kerusakan. Komunitas adat, LSM lokal dan internasional, peneliti, serta generasi muda terus menyuarakan pentingnya perlindungan kawasan laut secara holistik. Inisiatif seperti ekowisata berbasis masyarakat, pembelajaran konservasi di sekolah, hingga kolaborasi ilmu pengetahuan dengan kearifan lokal menjadi benteng terakhir dalam mempertahankan identitas ekologis Wakatobi.
Pemerintah pun harus memegang teguh komitmennya terhadap kelestarian kawasan ini. Jangan sampai Wakatobi, yang selama ini menjadi oase di tengah badai eksploitasi, turut hancur karena kelengahan dan kerakusan ekonomi sesaat.
Wakatobi bukan hanya warisan Sulawesi Tenggara, namun ia adalah warisan dunia. Di tengah gelombang tambang nikel yang telah meluluhlantakkan sebagian besar lanskap Sultra, Wakatobi berdiri sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati laut, dan sebagai pengingat bahwa masa depan tidak bisa dibangun dengan mengorbankan fondasi alam yang menopangnya.
Jika Wakatobi runtuh, maka bukan hanya Sultra yang kehilangan. Dunia akan kehilangan satu dari sedikit tempat di planet ini yang masih menyimpan kemurnian ekosistem lautnya. (Red)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini