BOMBANA – Pulau Kabaena di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, kini nyaris kehilangan identitasnya sebagai wilayah yang hijau dan kaya budaya. Di balik kekayaan tambang nikelnya, pulau ini menghadapi kehancuran ekologis dan sosial yang mengkhawatirkan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara menyebut 75 persen wilayah Kabaena telah dikavling menjadi lahan konsesi pertambangan nikel.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman, menyebut kondisi ini sebagai bentuk “kutukan sumber daya alam”. Di tengah limpahan kandungan logam yang dibutuhkan dunia, masyarakat Kabaena justru hidup dalam ketertinggalan dan kesulitan.
“Pulau Kabaena adalah pulau kecil yang kaya akan nikel. Tapi kekayaan itu kini menjadi kutukan. Hutan digunduli, sungai tercemar, laut rusak, dan masyarakat makin miskin,” tegas Andi, Sabtu (5/7/2025).
Pertanian dan Laut Hancur, Kemiskinan Meluas
Aktivitas tambang yang masif menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem Kabaena. Pertanian dan perikanan yang dulunya menjadi tulang punggung ekonomi lokal kini nyaris lumpuh. Limbah tambang mencemari sawah dan sungai, sedimentasi merusak wilayah pesisir, dan laut tak lagi bisa diandalkan nelayan.
“Di banyak desa, warga mengeluhkan lumpur tambang yang merusak sawah, air tak layak minum, dan hasil laut merosot. Mereka tidak menikmati hasil tambang, justru menanggung risikonya,” lanjut Andi.
Sementara dunia berlomba mengamankan pasokan nikel demi transisi energi hijau dan industri baterai, masyarakat Kabaena justru ditinggalkan dalam kehampaan dan krisis air bersih.
“Kabaena adalah cermin dari ironi negeri tambang: kekayaan dikeruk, tapi rakyat tetap miskin,” pungkasnya.
Perusahaan Tambang harus Bertanggung Jawab
Ketua DPRD Kabupaten Bombana, Iskandar, S.P., mengingatkan para perusahaan tambang di Kabaena agar tidak hanya mengeruk keuntungan, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab sosial dan kontribusi nyata terhadap pembangunan daerah.
Dalam Executive Meeting bersama Pemda Bombana dan para pemimpin perusahaan di Jakarta (3/7/2025), Iskandar menyampaikan keprihatinan atas minimnya keterlibatan perusahaan dalam pembangunan infrastruktur dan layanan dasar di Kabaena.
“Kabaena bukan pulau tanpa tuan. Suaranya sudah lama berteriak dalam diam. Jangan sampai kesabaran masyarakat habis dan muncul gejolak sosial,” tegas Iskandar lantang.
Ia menyoroti lambannya pembangunan infrastruktur dasar, seperti jalan antara Pongkalaero dan Teemokole yang hanya sepanjang tujuh kilometer namun belum juga dibangun oleh pihak korporasi.
“Cukup satu ruas jalan saja, tapi tidak juga dilakukan. Sementara banjir dan bencana ekologis terus terjadi,” kritiknya.
Iskandar juga menyoroti penyimpangan dalam penyaluran dana CSR oleh beberapa perusahaan yang dilakukan tanpa mekanisme resmi, seperti tidak melalui kas desa atau APBDes.
“CSR langsung ke desa tanpa mekanisme formal rawan disalahgunakan. Ketika perusahaan cabut izin, tidak ada yang tersisa,” ungkapnya.
Seruan untuk Kolaborasi dan Tanggung Jawab Sosial
Executive Meeting yang diinisiasi Bupati Bombana Ir. H. Burhanuddin, M.Si itu dihadiri oleh jajaran pejabat penting, termasuk Wakil Bupati Bombana, Sekda Sultra Drs. Asrun Lio, Ph.D, dan perwakilan Kementerian Investasi/BKPM RI.
Pertemuan ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, inklusif, dan berpihak pada masyarakat lokal—khususnya warga Kabaena yang telah lama memikul dampak dari tambang.
“Kalau selama ini masyarakat Kabaena ramah, itu karena mereka punya harapan. Tapi jangan biarkan harapan itu berubah jadi kekecewaan,” pungkas Iskandar. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini