Bom Waktu Bencana Ekologis di Sultra: 80 Persen Bekas Tambang Nikel Abaikan Reklamasi

Jejak tambang nikel di Sulawesi Tenggara. Dok

KENDARI – Kebijakan hilirisasi tambang nikel di Sulawesi Tenggara (Sultra) menuai sorotan tajam.

Koalisi masyarakat sipil yang terhimpun dalam Sulawesi Green Voice menegaskan bahwa praktik tambang dan hilirisasi yang abai terhadap reklamasi lahan pasca tambang telah menciptakan bencana ekologis di berbagai wilayah di Sultra.

Melalui policy brief bertajuk “Sisi Gelap Industri Ekstraktif dan Perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tenggara”, serta booklet “Mengabaikan Reklamasi, Menghancurkan Masa Depan”, koalisi menyampaikan kritik keras terhadap dampak lingkungan akibat eksploitasi tambang yang tidak bertanggung jawab.

Dokumen ini diserahkan kepada Sekda Sultra, Asrun Lio, dan Tenaga Ahli Menteri ESDM, Irwanuddin H.I Kulla, dalam seminar bertema “Kajian Strategis Energi dan Hilirisasi untuk Pembangunan Nasional” yang digelar di Kendari, Selasa (20/5/2025).

Menurut Kisran Makati, Direktur Puspaham dan juru bicara koalisi, semangat hilirisasi yang digaungkan pemerintah pusat justru menjadi jalan pintas menuju bencana ekologis.

“Jika aspek lingkungan diabaikan, maka hilirisasi bukan solusi pembangunan. Ini justru ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat,” tegasnya.

Ia mengungkapkan bahwa lebih dari 80 persen lahan bekas tambang di Sultra belum direklamasi, meninggalkan lubang-lubang raksasa yang mengancam keselamatan warga dan memicu krisis lingkungan seperti banjir, longsor, serta pencemaran tanah dan sungai.

Kisran juga menyoroti dampak sosial dari hilirisasi yang tidak inklusif. Di banyak wilayah seperti Konawe Utara, Kolaka, hingga Bombana, warga kehilangan lahan pertanian dan akses ke wilayah kelola adat mereka. Parahnya lagi, banyak yang mengalami kriminalisasi karena menolak penggusuran.

“Warga yang memperjuangkan tanahnya ditangkap. Konsultasi publik hanya formalitas. Ini bentuk nyata ketidakadilan,” ujarnya.

Koalisi juga mengkritik ketergantungan kawasan industri hilirisasi terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.

“Ini bertentangan dengan komitmen transisi energi dan justru menambah beban emisi karbon di tengah krisis iklim global,” ungkap Kisran.

Koalisi Sulawesi Green Voice mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan lima langkah konkret dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan hilirisasi tambang, menjalankan reklamasi dan pemulihan lingkungan sebagai kewajiban mutlak.

Koalisi juga menyerukan agar kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan HAM dihentikan dan juga perlunya perlindungan atas wilayah kelola rakyat dan penghidupan lokal. Dan yang paling penting, perlu dilakukan transformasi arah hilirisasi agar adil secara ekologis dan sosial.

“Pembangunan sejati adalah yang melindungi kehidupan, bukan menghancurkannya demi angka-angka ekonomi semata,” tutup Kisran.

Adapun Koalisi Sulawesi Green Voice ini terdiri dari lima organisasi, diantaranya WALHI Sultra, Puspaham, Aliansi Perempuan (Alpen), Komunitas Teras, dan Komunitas Desa (Komdes). (MS)

Simak Berita Lainnya di WA Channel disini

Exit mobile version