KENDARI – Wakatobi, gugusan pulau eksotis di tenggara Sulawesi, kerap disebut sebagai permata Segitiga Karang Dunia. Di perairan biru jernihnya, hidup berbagai jenis penyu laut yang menjadikan kawasan ini sebagai jalur migrasi, tempat mencari makan, dan lokasi peneluran.
Namun di balik panorama surgawi ini, tersembunyi kisah tragis pembantaian penyu yang terus berlangsung, senyap, namun sistematis.
Pada awal Juni 2026, publik dikejutkan oleh penemuan mengerikan di Pulau Otoue, sebuah pulau kecil tak jauh dari Kantor SPTN Wakatobi Wilayah I di Wangi-Wangi.
Tim gabungan dari aktivis lingkungan dan Balai Taman Nasional Wakatobi, menyisir lokasi setelah menerima laporan masyarakat. Apa yang mereka temukan mengungkap kenyataan yang jauh dari slogan konservasi.
Dua ekor penyu ditemukan dalam keadaan hidup, terikat, dan menunggu waktu untuk disembelih. Di sekitar mereka, bangkai penyu yang baru dipotong serta ratusan tulang belulang berserakan di bawah semak dan bebatuan. Bau amis darah dan anyir sisa organ tubuh masih menyengat di udara. Ini bukan pertama kalinya.
Menurut Saleh Hanan, salah satu aktivis lingkungan yang terlibat dalam misi ini, bagian dada penyu—yang paling bernilai tinggi—telah beberapa kali diekspor secara ilegal ke luar negeri sebagai menu eksotis untuk kalangan jetset.
Penemuan ini menyingkap adanya industri gelap yang terorganisir, dengan jaringan perdagangan ilegal bagian tubuh penyu yang telah beroperasi bertahun-tahun tanpa terjamah hukum. Bangkai dan tempurung penyu menjadi bukti bisu dari praktik keji yang berlangsung hanya satu mil dari pos penjagaan resmi taman nasional.
Beberapa hari setelah penemuan itu, aparat BKSDA Sulawesi Tenggara bergerak cepat menyambangi lokasi. Mereka mendokumentasikan sisa-sisa kejahatan dan melepaskan kembali penyu yang masih hidup ke laut.
Namun jejak pembantaian tak bisa disangkal. Ditemukan pula sisa usus dan cangkang penyu yang menguatkan dugaan bahwa Pulau Otoue telah menjadi pusat jagal penyu dilindungi di kawasan konservasi.
Penyu-penyu ini adalah bagian dari enam spesies laut yang dilindungi di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam UU No. 5 Tahun 1990, PP No. 7 Tahun 1999, serta Permen LHK No. 20 Tahun 2018.
Secara internasional, mereka masuk dalam Appendix I CITES, yang melarang segala bentuk perdagangan. Namun semua regulasi itu tak berarti apa-apa jika penegakan hukum tak setegas peraturannya.
Jalur Migrasi Penyu yang Berubah Jadi Jalur Kematian
Secara ekologis, perairan Wakatobi dan sekitarnya—termasuk Selat Buton, perairan Muna, Konawe Selatan, hingga Buton Utara—merupakan jalur ruaya penting bagi penyu. Penyu-penyu seperti penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) menjadikan kawasan ini sebagai bagian dari siklus hidup mereka. Mereka berenang ribuan kilometer, hanya untuk diburu saat menepi di tempat yang dulu aman.
Pada 2015, seekor penyu belimbing sempat dipasangi satellite tag oleh peneliti untuk memetakan jalur migrasinya. Hasilnya memperkuat pentingnya wilayah ini sebagai koridor hidup penyu. Namun hari ini, jalur migrasi itu telah berubah menjadi jalur kematian.
Laporan WWF Indonesia pada 2018 mencatat setidaknya 156 ekor penyu tertangkap sebagai tangkapan sampingan (bycatch) hanya dalam satu tahun di wilayah Sulawesi Tenggara. Sebagian hidup, sebagian mati, dan sebagian besar tidak pernah kembali ke laut.
Krisis Konservasi: Hukum Tumpul, Edukasi Minim, Pengawasan Lemah
Meski Wakatobi adalah taman nasional, realitas di lapangan justru menunjukkan lemahnya pengawasan dan kurangnya edukasi. Banyak masyarakat pesisir yang masih menggantungkan hidup dari aktivitas ilegal ini, baik karena tekanan ekonomi maupun minimnya alternatif penghidupan. Interaksi nelayan dengan penyu bukan hal asing. Bahkan, beberapa nelayan mengaku hampir setiap hari melihat penyu bermain di sekitar kapal mereka.
Dalam beberapa kasus, penyu yang tertangkap tidak sengaja malah menjadi target untuk dijual. Tidak sedikit nelayan yang menyembunyikan hasil tangkapan mereka untuk dijual kepada pengepul yang siap membayar mahal.
Menyelamatkan Penyu, Menyelamatkan Laut
Kasus di Pulau Otoue hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih besar yakni krisis konservasi laut di Indonesia. Tanpa penegakan hukum yang tegas, edukasi yang menyentuh akar komunitas pesisir, serta pengawasan yang konsisten, penyu—satwa purba yang telah hidup sejak zaman dinosaurus—akan musnah di tangan manusia modern.
Wakatobi masih memiliki peluang untuk bangkit dan menjadi pusat konservasi yang sebenarnya. Namun waktu terus berjalan. Penyu-penyu itu tak bisa menunggu lebih lama. (Red)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini