Pegunungan Mekongga: Benteng Alam Terakhir dan Rumah Keanekaragaman Hayati di Sultra

Kawasan Pegunungan Mekongga di Kolaka Utara. Doc

KENDARI – Di jantung jazirah Sulawesi Tenggara, tepatnya di wilayah Kolaka Utara, berdiri megah Pegunungan Mekongga, sebuah benteng alam terakhir yang menyimpan kekayaan hayati dan budaya luar biasa. Dengan puncaknya menjulang hingga 2.620 meter di atas permukaan laut, Mekongga bukan sekadar gugusan bukit dan lembah, tetapi rumah bagi flora dan fauna langka yang tidak ditemukan di tempat lain di muka bumi.

Namun, di balik keheningan dan keagungan hutan-hutannya, bayang-bayang ancaman semakin nyata. Ekspansi industri tambang nikel mengintai dengan rakus, menebar potensi kehancuran terhadap ekosistem yang telah bertahan selama ribuan tahun.

Pegunungan Mekongga terletak dalam kawasan biogeografi Wallacea, wilayah peralihan unik yang menjadi laboratorium evolusi dan rumah bagi spesies endemik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat, wilayah ini menyimpan berbagai jenis flora berkhasiat, termasuk enam spesies tanaman yang berpotensi menjadi obat kanker.

Tak hanya itu, survei biologis juga menemukan keberadaan berbagai fauna langka seperti Anoa (Bubalus quarlesi), Babirusa (Babyrousa babyrussa), Tarsius, serta burung Rangkong Sulawesi (Aceros cassidix). Bahkan, di daerah hulu sungai Pegunungan Mekongga ditemukan sepuluh jenis crustacea yang diduga merupakan spesies baru — sebagian besar belum sempat diteliti secara lengkap. Dunia ilmiah pun menyebut Mekongga sebagai salah satu “hotspot keanekaragaman hayati” paling penting di Asia Tenggara.

Sungai-Sungai Kehidupan yang Bermuara dari Mekongga

Mekongga tidak hanya kaya hayati, tetapi juga menjadi “menara air” bagi Sulawesi Tenggara. Dari lereng-lerengnya mengalir sungai-sungai besar yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat.

Sungai Lasolo, misalnya, mengalir dari kawasan Mekongga menuju Teluk Lasolo, membawa air yang menyuburkan pertanian dan memenuhi kebutuhan air bersih di Kabupaten Konawe Utara. Sungai Ranteangin juga bersumber dari pegunungan ini, menyokong ekosistem air tawar yang unik. Beberapa anak sungainya bahkan menjadi habitat udang dan kepiting langka. Sungai Lalindu dan Tambako adalah sumber penting lainnya, tidak hanya untuk manusia, tetapi juga bagi satwa liar yang bergantung pada air bersih di sepanjang kawasan hutan hujan tropis Mekongga.

Jika hulu sungai ini rusak karena tambang, maka ancaman bukan hanya pada keanekaragaman hayati, tetapi juga pada jutaan manusia yang bergantung pada airnya untuk hidup sehari-hari.

Lebih dari sekadar penyimpan biodiversitas dan penyuplai air, Pegunungan Mekongga adalah penjaga iklim. Hutan-hutan pegunungan ini berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) alami, yang membantu menyerap emisi gas rumah kaca dari atmosfer dan mengurangi laju pemanasan global.

Dengan luasan tutupan hutan tropis yang masih relatif utuh, Mekongga menjadi “paru-paru” regional yang menyimpan ribuan ton karbon dalam biomassa pohon-pohon tuanya. Saat hutan ini ditebang atau digantikan dengan tambang, karbon yang tersimpan akan dilepaskan ke atmosfer, memperparah krisis iklim yang kini sudah kita rasakan dampaknya.

Lebih jauh, vegetasi lebat dan ekosistem tanahnya menjaga kestabilan suhu mikro dan kelembaban wilayah sekitarnya, memperkuat ketahanan iklim lokal, dan mencegah degradasi lahan akibat pengeringan dan pemanasan ekstrem.

Menjaga Pegunungan Mekongga bukan hanya menyelamatkan satwa liar, tetapi juga memperkuat pertahanan bumi terhadap kehancuran iklim.

Ancaman Tambang Nikel dan Jejak Kerusakan

Dalam beberapa tahun terakhir, tambang nikel terus meluas ke wilayah daratan Sulawesi Tenggara. Hampir 66% konsesi tambang nikel di Indonesia mencaplok hutan alam, dan sebagian besar berada di kawasan Sulawesi. Mekongga tidak luput dari incaran.

Desa-desa di sekitar kawasan ini mulai menunjukkan tanda-tanda deforestasi masif. Sebuah studi menyatakan bahwa desa di dekat tambang nikel kehilangan tutupan hutan hampir dua kali lebih cepat dibandingkan wilayah non-pertambangan. Jika ekspansi ini terus berlanjut, maka akan terjadi fragmentasi habitat yang fatal bagi spesies endemik.

Lebih dari itu, sedimentasi dari tambang mengotori sungai-sungai utama. Sungai Lasolo, yang sebelumnya jernih, kini mulai berubah warna, menjadi saksi bisu bagaimana kerakusan manusia mengganti kelestarian dengan logam.

Melihat nilai ekologis dan fungsional yang tinggi, sejumlah akademisi dan masyarakat adat mendesak agar Pegunungan Mekongga ditetapkan sebagai Taman Nasional. Status ini akan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat, serta mengundang dukungan internasional untuk konservasi.

Naskah akademik yang disusun oleh para peneliti dan tokoh lokal telah mengusulkan perubahan fungsi dari hutan lindung menjadi hutan konservasi. Tujuannya untuk menjadikan Mekongga bukan sekadar kawasan penyangga, tetapi pusat perlindungan keanekaragaman hayati yang diakui dunia. Kawasan ini bahkan bisa menjadi destinasi ekowisata dan laboratorium hidup bagi sains lingkungan Indonesia.

Refleksi di Hari Keanekaragaman Hayati Dunia

Hari Keanekaragaman Hayati Sedunia bukan hanya momentum perayaan, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Pegunungan Mekongga adalah cermin dari tanggung jawab kolektif kita. Jika kita gagal melindunginya, kita bukan hanya kehilangan spesies langka, tetapi juga menghancurkan masa depan air, udara, dan kehidupan manusia itu sendiri.

Kita harus berhenti melihat tambang sebagai satu-satunya jalan pembangunan. Konservasi adalah bentuk pembangunan paling berkelanjutan. Maka, menjaga Pegunungan Mekongga bukan hanya sebuah pilihan, tetapi keharusan moral, ekologis, dan historis.

Pegunungan Mekongga harus dijaga, bukan dieksploitasi. Ia adalah benteng terakhir kehidupan di Sulawesi Tenggara, dan warisan yang tak boleh hilang dari bumi Wallacea.

Selamat memperingati Hari Keanekaragam Hayati Se-Dunia. (Red)

Simak Berita Lainnya di WA Channel disini

Exit mobile version