KENDARI – Gerakan menanam cabai secara massal kini menjadi tren nasional yang tak bisa diabaikan. Dari perkotaan hingga pelosok desa, warga berbondong-bondong menanam cabai di pekarangan rumah mereka.
Namun di balik semangat ini, muncul pertanyaan penting: apa urgensinya ramai-ramai tanam cabe?
Gerakan ini muncul sebagai respons langsung terhadap fluktuasi harga cabai yang kian tak menentu.
Di Kota Kendari, harga cabai rawit bahkan tembus Rp100 ribu per kilogram, memicu keresahan rumah tangga dan menjadi salah satu penyumbang inflasi daerah. Tak heran jika aksi tanam cabe massal dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan keluarga dan mengurangi ketergantungan pada pasar.
Kendari Jadi Percontohan Tanam Cabe Serentak se-Sultra
Pada Rabu, 16 Juli 2025, Kota Kendari ditetapkan sebagai lokasi pilot project penanaman cabai serentak di Sulawesi Tenggara. Sebanyak 9.200 bibit cabai ditanam secara serentak di 17 kabupaten/kota, dipusatkan di Kelurahan Purirano, Kecamatan Kendari. Kegiatan ini digagas oleh Tim Penggerak PKK Provinsi Sulawesi Tenggara dan dilakukan secara hybrid.
Ketua TP PKK Sultra, Arinta Andi Sumangerukka, menegaskan bahwa gerakan ini adalah upaya nyata mengendalikan gejolak harga pangan melalui pemanfaatan lahan pekarangan.
“Gerakan ini adalah terobosan. Kami akan memantau hingga panen tiga bulan ke depan. Ini adalah gaya hidup baru dalam menghadapi krisis pangan,” ujarnya.
Urban Farming dan Edukasi Pangan Berkelanjutan
Tak hanya soal penghematan, gerakan tanam cabe juga membawa misi edukatif. Sekolah-sekolah menjadikan kegiatan ini bagian dari proyek profil pelajar Pancasila, mengajarkan anak-anak tentang ekologi, kemandirian pangan, dan daur ulang limbah rumah tangga.
Wali Kota Kendari, Siska Karina Imran, menyambut antusias gerakan ini. Ia menyebutnya sebagai contoh nyata kolaborasi pengendalian inflasi dan pemberdayaan masyarakat.
“Kami telah menetapkan tiga lokus urban farming di Kelurahan Punggaloba, Kambu, dan Pondambea, masing-masing didukung dana Rp20 juta untuk pengembangan pertanian pekarangan dan pendampingan pasca panen,” terang Siska.
Meski positif, berbagai pihak mengingatkan bahwa tanam cabe hanyalah satu bagian dari solusi. Dibutuhkan pembenahan rantai pasok, akses benih unggul, serta dukungan kebijakan nasional dalam sektor hortikultura.
PKK juga mengintegrasikan edukasi pengelolaan sampah rumah tangga, terutama dalam penggunaan bahan organik sebagai pupuk kompos untuk tanaman.
Dengan semangat “dari rumah untuk Indonesia”, Sulawesi Tenggara menunjukkan bahwa gerakan kecil dapat memberikan dampak besar. Dari sekadar menanam cabe, kini berkembang menjadi gerakan kolektif membangun ketahanan pangan lokal dan kedaulatan pangan nasional.
Acara tanam cabe ditutup dengan pembagian bibit, pupuk, dan tempat sampah kepada dasawisma, serta kunjungan ke Pasar Pangan Murah dan Pameran Produk UP2K PKK, sebagai bentuk dukungan terhadap produk lokal dan UMKM. (MS)
Simak Berita Lainnya di WA Channel disini