Site icon MediaSultra.com

Paradoks Sultra: Kaya Tambang Nikel, Tapi Minim Kontribusi ke APBD

Aktivitas bongkar muat nikel di pelabuhan Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Ist

KENDARI – Sulawesi Tenggara (Sultra) dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kekayaan tambang nikel terbesar di Indonesia. Namun, di balik potensi yang luar biasa tersebut, terdapat ironi yang tajam dimana kontribusi sektor tambang terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih jauh dari harapan.

Hal ini diungkapkan Anggota Komisi II DPR RI, Fauzan Khalid, dalam kunjungan kerja spesifik ke Kendari, Rabu (7/5/2025). Ia menyebut fenomena ini sebagai paradoks tambang, di mana daerah kaya sumber daya alam justru miskin secara fiskal.

“Sultra ini kaya tambang nikel, tapi kontribusinya terhadap APBD hampir tidak terasa. Ini adalah kondisi yang harus segera ditangani,” tegas Fauzan usai pertemuan bersama kepala daerah se-Sultra.

Potret Statistik

Provinsi Sultra menyimpan cadangan nikel hingga 97 miliar ton, menjadikannya salah satu yang terbesar di Indonesia. Aktivitas eksplorasi dan produksi pun berlangsung masif.

Hingga Februari 2025, sebanyak 63 perusahaan tambang nikel di Sultra telah mendapat persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Kementerian ESDM. Dari segi wilayah operasional, Kabupaten Konawe Utara mendominasi dengan 134 izin usaha pertambangan (IUP), disusul Konawe Selatan dengan 81 IUP, dan Kolaka Utara dengan 43 IUP, Kemudian Kolaka, Bombana, Konawe Kepulauan, Konawe, Buton dan Buton Tengah.

Meskipun geliat industri tambang sangat tinggi, kontribusinya terhadap keuangan daerah tidak sebanding. Sepanjang 2024, pendapatan negara dari Sultra tercatat sebesar Rp5,1 triliun, terdiri atas Rp4,18 triliun dari pajak, dan Rp938 miliar dari PNBP. Namun, karena mekanisme pembagian berbasis domisili perusahaan, sebagian besar dana tersebut tidak masuk ke kas daerah Sultra.

Menurut Fauzan, akar masalahnya terletak pada alamat legal perusahaan tambang yang umumnya berada di luar Sultra, seperti Jakarta, Makassar, atau Jawa Timur. Akibatnya, Dana Bagi Hasil (DBH) justru mengalir ke provinsi domisili, bukan ke daerah tempat aktivitas tambang berlangsung.

“Alamat administrasi mereka bukan di Sultra. Jadi meski tambangnya di sini, pajak dan DBH-nya mengalir ke daerah lain,” ujarnya.

Karena itu, Fauzan mendorong pemerintah daerah untuk mendesak perusahaan tambang agar membuat NPWP percabangan di Sultra, bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat. Strategi ini dapat memastikan DBH masuk ke daerah asal tambang, tanpa perlu memindahkan kantor pusat perusahaan.

“Cukup NPWP cabang. Itu bisa jadi pintu masuk agar pajak dan bagi hasilnya masuk ke APBD Sultra,” jelasnya.

Karena kewenangan sektor tambang berada di tangan pemerintah pusat, pemerintah daerah nyaris tidak memiliki instrumen fiskal langsung. Oleh karena itu, optimalisasi Corporate Social Responsibility (CSR) dan pajak alat berat menjadi alternatif realistis untuk meningkatkan penerimaan daerah.

“Kalau bicara pajak, pintunya hanya CSR dan retribusi kendaraan berat. Kita perlu dorong ini lebih maksimal,” tutup politisi Partai NasDem tersebut. (MS Network)

Simak Berita Lainnya di WA Channel disini

Exit mobile version